PROSES BANGSA MENJADI NEGARA
Lahirnya Bangsa
Kronologis Sejarah Lahirnya
Pancasila
Pancasila sebagai dasar filsafat
serta ideologi bangsa dan Negara Indonesia, bukan terbentuk secara mendadak
serta bukan hanya diciptakan oleh seseorang sebagaimana yang terjadi pada
ideologi-ideologi lain di dunia. Namun terbentuknya Pancasila melalui proses
yang cukup panjang dalam sejarah bangsa Indonesia.
Secara
kualitas Pancasila sebelum disahkan menjadi dasar filsafat Negara nilai-nilainya
telah ada dan berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang berupa nilai-nilai
adat-istiadat, kebudayaan dan nilai-nilai religious. Kemudian para pendiri
Negara Indonesia mengangkat nilai-nilai tersebut dirumuskan secara musyawarah
mufakat berdasarkan moral yang luhur, antara lain dalam sidang-sidang BPUPKI
pertama, sidang Panitia Sembilan yang kemudian menghasilkan piagam Jakarta yang
memuat Pancasila yang pertama kali, kemudian dibahas lagi dalam sidang BPUPKI
kedua. Setelah kemerdekaan Indonesia sebelum sidang resmi PPKI Pancasial sebagi
calon dasar filsafat negera dibahas serta disempurnakan kembali dan akhirnya
pada tanggal 18 Agustus 1945 disahkan oleh PPKI sebagai dasar filsafat Negara
Republik Indonesia.
Oleh karena itu agar memiliki
pengetahuan yang lengkap tentang proses terjadinya Pancasila, maka secara
ilmiah harus ditinjau berdasarkan proses kausalitas. Maka secara kausalitas
asal mula Pancasila dibedakan atas dua macam yaitu: asal mula yang langsung dan
asal mula yang tidak langsung. Adapun pengertian asal mula tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Asal Mula yang
Langsung
Pengertian : Asal mula secara ilmiah filsafat dibedakan atas empat macam yaitu:
Pengertian : Asal mula secara ilmiah filsafat dibedakan atas empat macam yaitu:
•
Asal
mula bahan (Kausa Materialis)Bangsa Indonesia adalah sebagai asal dari
nilai-nilai Pancasila, sehingga pancasila itu pada hakikatnya nilai-nilai yang
merupakan unsure-unsur Pancasila digali dari bangsa Indonesia yang berupa
nilai-nilai adat-istiadat kebudayaan serta nilai-nilai religious yang terdapat
dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Dengan demikian asal bahan
Pancasila adalah pada bangsa Indonesia sendiri yang terdapat dalam kepribadian
dan pandangan hidup.
•
Asal
mula bentuk (Kausa Formalis)Hal ini dimaksudkan bagaimana asal mula bentuk atau
bagaiman bentuk Pancasila itu dirumuskan sebagaimana termuat dalam pembukaan
UUD 1945. Maka asal mula bentuk Pancasila adalah Ir. Soekarno bersama-sama
Drs.Moh Hatta serta anggota BPUPKI lainnya merumuskan dan membahas Pancasila
terutama dalam hal bentuk, rumusan serta nama Pancasila.
•
Asal
mula karya (Kausa Effisien)Kausa Effisien atau asal mula karya yaitu asal mula
yang menjadikan Pancasila dari calon dasar Negara menjadi dasar Negara yang
sah. Asal mula karya adalah PPKI sebagai pembentuk Negara dan atas kausa
pembentuk Negara yang mengesahkan Pancasila menjadi dasar Negara yang sah,
setelah dilakukan pembahasan baik dalam sidang-sidang BPUPKI, Panitia Sembilan
•
Asal
mula tujuan (Kausa Finalis)Pancasila dirumuskan dan dibahas dalam sidang-sidang
para pendiri Negara, tujuannya adalah untuk dijadikan sebagai dasar Negara.
Oleh karena itu asal mula tujuan tersebut adalah para anggota BPUPKI dan
Panitia Sembilan termasuk Soekarno dan Hatta yang menentukan tujuan
dirumuskannya Pancasila sebelum ditetapkan oleh PPKI sebagai dasar Negara yang
sah. Demikian pula para pendiri Negara tersebut juga berfungsi sebagai kausa
sambungan karena yang merumuskan dari filsafat Negara.
2. Asal Mula yang Tidak Langsung
Secara kausalitas asal mula yang tidak langsung pancasila adalah asal mula sebelum proklamasi kemerdekaan. Berarti bahwa asal mula nilai-nilai pancasila yang terdapat dalam adat-istiadat, dalam kebudayaan serta dalam nilai-nilai agama bangsa Indonesia. Sehingga dengan demikian asal mula tidak langsing Pancasila adalah terdapat pada kepribadian serta dalam pandangan hidup sehari-hari bangsa Indonesia. Maka asal mula tidak langsung Pancasila bilamana dirinci adalah sebagai berikut:
•
Unsur-unsur
Pancasila tersebut sebelum secara langsung dirumuskan menjadi dasar filsafat
negra,nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan telah ada dan
tercermin dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk
Negara.
•
Nilai-nilai
tersebut terkandung dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum
membentuk Negara, yang berupa nilai-nilai adat-istiadat, nilai kebudayaan serta
nilai-nilai religious. Nilai-nilai tersebut menjadi pedoman dalam memecahkan
problema kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.
•
Dengan
demikian dapat disimpulakan bahwa asal-mula tidak langsung Pancasila pada
hakikatnya bangsa Indonesia sendiri, atau dengan lain perkataan bangsa
Indonesia sebagai ‘Kausa Materialis’ atau sebagai asal mula tidak langsung
nilai-nilai Pancasila.
Demikian tinjauan Pancasila dari
segi kausalitas, segingga memberikan dasar-dasar ilmiah bahwa Pancasila itu
pada hakikaatnya adalah sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, yang jauh
sebelum bangsa Indonesia membentuk Negara nilai-nilai tersebut telah tercermin
dan teramalkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu tinjauan kausalitas
tersebut memberikan bukti secara ilmiah bahwa Pancasila bukan merupakan hasil
perenungan atau pemikiran seseorang, atau sekelompok orang bahkan Pancasila
juga bukan merupakan hasil sintesa paham-paham besar dunia, melainkan
nilai-nilai Pancasila secara tidak langsung telah terkandung dalam pandangan
hidup bangsa Indonesia.
Nilai-nilai essensial yang
terkandung dalam Pancasila yaitu : Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan,
Kerakyatan serta Keadilan, dalam kenyataannya secara objektif telah dimiliki
oleh bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum mendirikan Negara. Proses
terbentuknya Negara dan bangsa Indonesia melalui suatu proses sejarah yang
cukup panjang yaiut sejak zaman batu kemudian timbulnya kerajaan-kerajaan pada
abad ke IV, ke V kemudian dasr-dasar kebangsaan Indonesia telah mulai Nampak
pada abad ke VII, yaitu ketika timbulnya kerajaan Sriwijaya dibawah wangsa
Syailendra di Palembang, kemudian kerajaan Airlangga dan Majapahit di Jawa
Timur serta kerajaan-kerajaan lainnya.
Dasar-dasar
pembentukan nasionalisme modern dirintis oleh para pejuang kemerdekaan bangsa,
antara lain rintisan yang dilakukan oelh para tokoh pejuang kebangkitan
nasional pada tahun 1908. Akhirnya titik kulminasi sejarah perjuangan bangsa
Indonesia dalam mendiriakan Negara tercapai dengan diproklamasikan kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Zaman Kutai
Indonesia memasuki zaman sejarah pada tahun 400 M, dengan ditemukannya prasasti yang berupa 7 yupa (tiang batu). Berdasarkan prasasti tersebut dapat diketahui bahwa raja Mulawarman keturunan dari raja Asmawarman keturunan dari Kudungga. Raja Mulawarman menurut prasasti tersebut mengadakan kenduri dan member sedekah kepada para brahmana, dan para brahmana membangun yupa itu sebagai tanda terima kasih raja yang dermawan (Bambang Sumadjo,dkk, 1997). Masyarakat Kutai yang membuka zaman sejarah Indonesia pertama kalinya ini menampilkan nilai-nilai social politik, dan ketuhanan dalam bentuk kerajaan, kenduri, serta sedekah kepada para Brahmana. Bentuk kerajaan dengan agama sebagai tali pengikat kewibawaan raja ini tampak dalam kerajaan-kerajaan yang muncul kemudian di dJawa dan Sumatara. Dalam Zaman kuno (400-1500) terdapat dua kerajaan yang berhasil mencapai intergrasi dengan wilayah yan gmeliputi hamper separoh Indonesia dan seluruh wilayah Indonesia sekarang yaitu kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan Majsapahit yang berpusat di Jawa.
Zaman Sriwijaya
Menurut Mr. M. Yamin bahwa berdirinya Negara kebangsaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lama yang merupakan warisan nenk moyang bangsa Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia terbentuk melalui tiga tahap yaitu : pertama, zaman Sriwijaya dibawah wangsa syailendra (600-1400), yang bercirikan kedatuan. Kedua, Negara kebangsaan zaman Majapahit (1293-1525) yang bercirikan keprabuan, kedua tahap tersebut merupakan Negara kebangsan dIndonesia lama. Kemudian ketiga Negara kebangsaan modern yaitu Negara Indonesia merdeka.
Zaman Penjajahan
Setelah Majapahit runtuh pada permulaan abad XVI maka berkembanglah agama Islam dengan pesatnya di Indonesia. Bersamaan dengan itu berkembang pulalah kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan Demak, dan mulailah berdatangan orang-orang Eropa di nusantara. Mereka itu antara lain orang Portugis yang kemudian diikuti oleh orang-orang Spanyol yang ingin mencari pusat tanaman rempah-rempah.
Bangsa asing yang masuk ke Indonesia yang apda awalnya berdagang adalah orang-orang bangsa Portugis. Namum lama kelamaan bangsa Portugis mulai menunjukan peranannya dalam bidang perdagangan yang meningkat menjadi praktek penjajahan misalnya Malaka sejak 1511 dikuasai oleh Portugis. Pada akhir abad ke XVI bangsa Belanda dating pula ke Indonesia dengan menempuh jalan yang penuh kesulitan. Untk mengindarkan persaingan di antara mereka sendiri (Belanda), kemudian mereka mendirikan suatu perkumpulan dagang yang bernama V.O.C., (verenigde Oost Indeische Compagnie), yang dikalangan rakyat dikenal dengan istilah ‘Kompeni’.
Praktek-praktek VOC mulai kelihatan dengan paksaan-paksaan sehingga rakyat mulai mengadakan perlawanan. Mataran di bawah pemerihtahan sultan Agung (1613-1645) berupaya mengadakan perlawanan dan menyerang ke Batavia pada tahun 1628 dan tahun 1929, walaupun tidak berhasil meruntuhkan namun Gubernur Jenderal J.P. Coen tewas dalam serangan Sultan Agung yang akhirnya pun Sultan Agung menyusul untuk mangkat, sehingga Mataram menjadi bagian kekuasaan kompeni.
Penghisapan mulai memuncak ketika Belanda mulai menerapkan
system monopoli melalui tanam paksa (1830-1870) dengan memaksakan beban
kewajiban terhadap rakyat yan gtidak berdosa. Penderitaan rakyat semakin
menjadi-jadi dan Belanda sudah tidak peduli lagi dengan ratap penderitaan
tersebut, bahkan mereka semakin gigih dalam menghisap rakyat untuk memperbanyak
kekayaan bangsa Belanda.
Kebangkitan Nasional
Pada abad XX di panggung politik internasional terjadilah pergolakan kebangkitan Dunia Timur dengan suatu kesadaran akan kekuatannya sendiri. Republik Philipina (1898), dipelopori Joze Rizal, kemenangan Jepang atas Rusia di Tsunia (1950), gerakan Sun Yat Sen dengan republik Cinanya (1911). Partai Konggres di India dengan tokoh Tilak dan Gandhi, adapun di Indonesia bergolaklah kebangkitan akan kesadaran berbangsa yaiut kebangkitan nasional (1908) dipelopori oleh dr. Wahidin Sudirohusodo dengan Budi Utomonya.
Gerakan inilah yang merupakan awal gerakan nasional untuk mewujudkan suatu bangsa yang memiliki kehormatan akan kemerdekaan dan kekuatannya sendiri. Budi Utomo didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 merupakan gerakan pelopor berdirinya gerakan – gerakan nasional lainnya seperti: Sarekat Dagang Islam (SDI) (1909), Indische Partij (1913) yang dipimpin oleh tiga serangkai yaitu Douwes Dekker, Ciptomangunkusumo, Suwardi Suryaningrat dan gerakan-gerakan lain.
Zaman Penjajahan Jepang
Setelah Belanda diserbu oleh tentara Nazi Jerman pada tanggal 5 Mei 1940 dan jatuh pada tanggal 10 Mei 1940, maka Ratu Wilhelmina dengan segenap aparat pemerintahannya mengungsi ke Inggris, sehingga pemerintahan Belanda masih dapt berkomunikasi dengan pemerintah jajahan di Indonesia. Janji Belanda tentang Indonesia merdeka di kelak kemudian hari dalam kenyataannya hanya suatu kebohongan belaka sehingga tidak pernah menjadi kenyataan. Bahkan sampai akhir pendudukan pada tanggal 10 Maret 1940, kemerdekaan bangsa Indonesia itu tidak pernah terwujud.
Fasis jepang masuk ke Indonesia dengan propaganda “Jepang Pemimpin Asia, Jepang Saudara tua bangsa Indonesia”, akan tetapi dalm perang melawan sekutu barat yaitu (Amerika, Inggris, Rusia, Perancis, Belanda dan Negara sekutu lainnya) nampanknya Jepang semakin terdesak. Oleh karena itu agar mendapat dukungan dari bangsa Indonesia, maka pemerintah Jepang bersikap bermurah hati terhadap bansa Indonesia, yaiut menjanjikan Indonesia meredeka di kelak kemudian hari.
Untuk mendapat simpati dan dukungan dari bangsa Indonesia maka sebagai realisasi janji tersebut maka dibentuklah suatu badan yang bertugas untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zyumbi Tioosakai.
Kebangkitan Nasional
Pada abad XX di panggung politik internasional terjadilah pergolakan kebangkitan Dunia Timur dengan suatu kesadaran akan kekuatannya sendiri. Republik Philipina (1898), dipelopori Joze Rizal, kemenangan Jepang atas Rusia di Tsunia (1950), gerakan Sun Yat Sen dengan republik Cinanya (1911). Partai Konggres di India dengan tokoh Tilak dan Gandhi, adapun di Indonesia bergolaklah kebangkitan akan kesadaran berbangsa yaiut kebangkitan nasional (1908) dipelopori oleh dr. Wahidin Sudirohusodo dengan Budi Utomonya.
Gerakan inilah yang merupakan awal gerakan nasional untuk mewujudkan suatu bangsa yang memiliki kehormatan akan kemerdekaan dan kekuatannya sendiri. Budi Utomo didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 merupakan gerakan pelopor berdirinya gerakan – gerakan nasional lainnya seperti: Sarekat Dagang Islam (SDI) (1909), Indische Partij (1913) yang dipimpin oleh tiga serangkai yaitu Douwes Dekker, Ciptomangunkusumo, Suwardi Suryaningrat dan gerakan-gerakan lain.
Zaman Penjajahan Jepang
Setelah Belanda diserbu oleh tentara Nazi Jerman pada tanggal 5 Mei 1940 dan jatuh pada tanggal 10 Mei 1940, maka Ratu Wilhelmina dengan segenap aparat pemerintahannya mengungsi ke Inggris, sehingga pemerintahan Belanda masih dapt berkomunikasi dengan pemerintah jajahan di Indonesia. Janji Belanda tentang Indonesia merdeka di kelak kemudian hari dalam kenyataannya hanya suatu kebohongan belaka sehingga tidak pernah menjadi kenyataan. Bahkan sampai akhir pendudukan pada tanggal 10 Maret 1940, kemerdekaan bangsa Indonesia itu tidak pernah terwujud.
Fasis jepang masuk ke Indonesia dengan propaganda “Jepang Pemimpin Asia, Jepang Saudara tua bangsa Indonesia”, akan tetapi dalm perang melawan sekutu barat yaitu (Amerika, Inggris, Rusia, Perancis, Belanda dan Negara sekutu lainnya) nampanknya Jepang semakin terdesak. Oleh karena itu agar mendapat dukungan dari bangsa Indonesia, maka pemerintah Jepang bersikap bermurah hati terhadap bansa Indonesia, yaiut menjanjikan Indonesia meredeka di kelak kemudian hari.
Untuk mendapat simpati dan dukungan dari bangsa Indonesia maka sebagai realisasi janji tersebut maka dibentuklah suatu badan yang bertugas untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zyumbi Tioosakai.
Pada hari itu juga diumumkan nama-nama ketua, wakil ketua
serta para anggota sebagai berikut:
•
Ketua
(Kaicoo) : Dr. K.R.T Radjiman Wediodiningrat
•
Ketua
Muda : Iclubangse (seorang anggota luar biasa)
•
Ketua
Muda : R.P. Soeroso (Merangkap kepala)
Dan
dengan 60 orang anggota biasa bangsa Indonesia (tidak termasuk ketua dan ketua
muda).
Sidang BPUPKI pertama
BPUPKI mulai bekerja pada tanggal 28 Mei 1945, dimulai upacara pembukaan dan pada keesokan harinya dimulai sidang-sidang (29Mei-1 Juni 1945). Yang tampil untuk berpidato menyampaikan usulannya adalah sebagai berikut : (a) tanggal 29 Mei, Mr. Muh Yamin, (b) tanggal 31 Mei, Prof Soepomo dan (c) tangal 1 Juni Ir. Soekarno
a. Mr. Muh. Yamin ( 29 Mei 1945)
Dalam pidatonya tanggal 29 Mei 1945 Muh. Yamin mengusulkan calon rumusan dasar Negara Indonesia sebagai berikut:
Sidang BPUPKI pertama
BPUPKI mulai bekerja pada tanggal 28 Mei 1945, dimulai upacara pembukaan dan pada keesokan harinya dimulai sidang-sidang (29Mei-1 Juni 1945). Yang tampil untuk berpidato menyampaikan usulannya adalah sebagai berikut : (a) tanggal 29 Mei, Mr. Muh Yamin, (b) tanggal 31 Mei, Prof Soepomo dan (c) tangal 1 Juni Ir. Soekarno
a. Mr. Muh. Yamin ( 29 Mei 1945)
Dalam pidatonya tanggal 29 Mei 1945 Muh. Yamin mengusulkan calon rumusan dasar Negara Indonesia sebagai berikut:
1.
Peri
Kebangsaan
2.
Peri
Kemanusiaan
3.
Peri
Ketuhanan
4.
Peri
Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat
Selain usulan tersebut pada akhir pidatonya Mr. Muh. Yamin
menerahkan naskah sebagai lampiran yaitu suatu rancangan usulan sementara
berisi rumusan UUD RI dan rancangan itu dimulai dengan Pembukaan yang bunyinya
adalah sebagai berikut:
“untuk membentuk Pemerintahan Negara Indonesia yang melindung segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, menyuburkan hidup kekluargaan, dan iktu serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Persatuan Indonesia, dan Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dengan mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.”
b. Prof. Dr. Soepomo (31 Mei 1945)
Berbeda dengan usulan Mr.Muh. Yamin, Prof. Dr. Soepomo mengemukakan teori-teori Negara sebagai berikut:
“untuk membentuk Pemerintahan Negara Indonesia yang melindung segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, menyuburkan hidup kekluargaan, dan iktu serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Persatuan Indonesia, dan Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dengan mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.”
b. Prof. Dr. Soepomo (31 Mei 1945)
Berbeda dengan usulan Mr.Muh. Yamin, Prof. Dr. Soepomo mengemukakan teori-teori Negara sebagai berikut:
1. Teori Negara perseorangan (Individualis),
sebagaimana diajarkan
oleh Thomas Hobbes (abad 17), Jean Jacquas Rousseau (abad 18), Herbert Spencer
(abad 19), H.J Laski (abad 20). Menurut paham ini, Negara adalah masyarakat
hukum (legal society) yang disusun atas kontrak antara seluruh individu
(contract social). Paham Negara ini banyak terdapat di Eropa dan Amerika.
2. Paham
Negara kelas (Class theory) atau teori ‘golongan’.
Teori ini sebagaimana diajarkan oleh Marx, Engels dan Lenin.
Negara adalah alat dari suatu golongan (suatu klasse) untuk menindas kelas
lain. Negara kapitalis adalah alat dari kaum borjuis, oleh karena itu kaum
Marxis menganjurkan untuk meraih kekuasaan agar kaum buruh dapat ganti menindas
kaum borjuis.
3. Paham Negara integralistik, yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller Hegel (abad 18 dan 19). Menurut paham ini Negara bukanlah untuk menjamin perseorangan atau golongan akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai suatu persatuan. Negara adalah susunan masyarakat yang integral, segala golongan, bagian atau anggotanya saling berhubungan erat satu dengan lainnya dan merupakan kesatuan organis. Menurut paham ini yang terpenting dalam Negara adalah pengidupan bansa seluruhnya. Negara tidak memihak kepada golongan yang paling kuat atau yang paling besar. Tidak memandang kepentingan seseorang sebagai pusat akan tetapi Negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai suatu persatuan.
c. Ir. Soekarno ( 1 Juni 1945)
Usulan dasar Negara dalam sidang BPUPKI pertama berikutnya adalah pidato dari Ir. Soekarno, yang disampaikannya dalam sidang tersebut secara lisan tanpa teks. Beliau mengusulkan dasar Negara yang terdiri atas lima prinsip yang rumusannya adalah sebagai berikut:
1. Nasionalisme (kebangsaan Indonesia)
2. Internasionalisme (peri kemanusiaan)
3. Mufakat (demokrasi)
4. Kesejahteraan social
5. Ketuhanan Yang berkebudayaan
3. Paham Negara integralistik, yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller Hegel (abad 18 dan 19). Menurut paham ini Negara bukanlah untuk menjamin perseorangan atau golongan akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai suatu persatuan. Negara adalah susunan masyarakat yang integral, segala golongan, bagian atau anggotanya saling berhubungan erat satu dengan lainnya dan merupakan kesatuan organis. Menurut paham ini yang terpenting dalam Negara adalah pengidupan bansa seluruhnya. Negara tidak memihak kepada golongan yang paling kuat atau yang paling besar. Tidak memandang kepentingan seseorang sebagai pusat akan tetapi Negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai suatu persatuan.
c. Ir. Soekarno ( 1 Juni 1945)
Usulan dasar Negara dalam sidang BPUPKI pertama berikutnya adalah pidato dari Ir. Soekarno, yang disampaikannya dalam sidang tersebut secara lisan tanpa teks. Beliau mengusulkan dasar Negara yang terdiri atas lima prinsip yang rumusannya adalah sebagai berikut:
1. Nasionalisme (kebangsaan Indonesia)
2. Internasionalisme (peri kemanusiaan)
3. Mufakat (demokrasi)
4. Kesejahteraan social
5. Ketuhanan Yang berkebudayaan
Lima prinsip sebagai dasar negara tersebut kemudian oleh
Soekarno diusulkan agar diberi nama Pancasila atas salah seorang teman beliau
ahli bahasa. Berikutnya menurut Soekarno kelima sila tersebut dapat diperas
menjadi Tri Sila yang meliputi: (1) sosio nasionalisme yang merupakan sintesa
dari ‘Kebangsaan (nasionalisme) dengan Peri kemanusiaan (internasionalisme, (2)
Sosio demokrasi yang merupakan sintersa dari ‘Mufakat (demokrasi), dengan
Kesejahteraan social, serta (3) Ketuhanan. Berikutnya beliau juga mengusulkan
bahwa “Tri Sila” tersbut juga dapat diperas menjadi “Eka Sila” yang intinya
adalah ‘gotong royong’.
Beliau mengusulkan bahwa Pancasila adalah sebagai dasar
filsafat Negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia atau ‘Philosphische
grondslag’ juga pandangan dunia yang setingkat dengan aliran-aliran besar dunia
atau sebagai atau sebagai ‘weltanschauung’ dan diatas dasar itulah kita dirikan
Negara Indonesia. Sangat menarik untuk dikaji bahwa beliau dalam mengusulkan
dasar Negara tersebut selain secara lisan juga dalam uraiannya juga
membandingkan dasar filsafat Negara ‘Pancasila’ dengan ideologi-ideologi besar
dunia seperti liberalism, komunisme, chauvinism, kosmopolitisme, San Min Chui
dan ideology besar dunia lainnya.
Setelah usulan-usulan ditampung selanjutnya dibenutklah suat panitia kecil berjumlah delapan orang untuk menyusun dan mengelompokan semua usulan tersebut. Panitia delapan terdiri dari: Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Sutarjo, K.H. Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikoesoemo, Oto Iskandardinata, Moh. Yamin, Mr. A.A. Maramis. Setelah para panitia kecil yang berjumlah delapan orang tersegut bekerja meneliti dan mengelompokkan usulan yan gmasuk, diketahui ada perbedaan pendapat dari para anggota sidang tentang hubungan antara agam dan Negara. Para anggota sidang yang beragama Islam menghendaki bahwa Negara berdasrkan syariat Islam, sedangkan golongan nasionalis menghendaki bahwa Negara tidak mendasarkan hokum salah satu agama tertentu. Untuk mengatasi pergedaan ini maka dibentuk lagi suatu panitia kecil yang berjumlah Sembilan orang yang dikenal sebagai ‘panitia sembilan’, yang anggotanya berasal dari golongan nasionalis, yaitu: Ir. Soekarno, Mr. Moh Yamin, K.H Wachid Hasyim, Drs. Moh. Hatta ,K.H. Abdul Kahar Moezakir, Mr. Maramis, Mr. Soebardjo, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim.
Setelah usulan-usulan ditampung selanjutnya dibenutklah suat panitia kecil berjumlah delapan orang untuk menyusun dan mengelompokan semua usulan tersebut. Panitia delapan terdiri dari: Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Sutarjo, K.H. Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikoesoemo, Oto Iskandardinata, Moh. Yamin, Mr. A.A. Maramis. Setelah para panitia kecil yang berjumlah delapan orang tersegut bekerja meneliti dan mengelompokkan usulan yan gmasuk, diketahui ada perbedaan pendapat dari para anggota sidang tentang hubungan antara agam dan Negara. Para anggota sidang yang beragama Islam menghendaki bahwa Negara berdasrkan syariat Islam, sedangkan golongan nasionalis menghendaki bahwa Negara tidak mendasarkan hokum salah satu agama tertentu. Untuk mengatasi pergedaan ini maka dibentuk lagi suatu panitia kecil yang berjumlah Sembilan orang yang dikenal sebagai ‘panitia sembilan’, yang anggotanya berasal dari golongan nasionalis, yaitu: Ir. Soekarno, Mr. Moh Yamin, K.H Wachid Hasyim, Drs. Moh. Hatta ,K.H. Abdul Kahar Moezakir, Mr. Maramis, Mr. Soebardjo, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim.
Panitia Sembilan bersidang tanggal 22 Juni 1945 dan
menghasilakan kesepakatan yang menurut istilah Ir. Soekarno adalah suatu modus,
kesepakatan yang dituangkan di dalam Mukadimah (Preambule) Hukum Dasar, alinea
keempat dalam rumusan dasar Negara sebagai berikut:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwkilan;
5. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Moh. Yamin mempopulerkan kesepakatan tersebut dengan nama Piagam Jakarta.
Sidang BPUPKI kedua
Pada sidang kedua BPUPKI tanggal 10 Juli 1945 Ir. Soekarno diminta menjelaskan tentang kesepakatan tanggal 22 Juni 1945 (Piagam Jakarta). Oleh karena sudah mencapai kesepakatan maka pembicaraan mengenai dasar Negara dianggap sudah selesai. Selanjutnya dibicarakan mengenai materi undang-undang dasar (pasal demi pasal) dan diserahkan kepada Mr. Soepomo. Demikian pula mengenai susunan pemerintahan Negara yang terdapat dalam penjelasan UUD.
Sidang PPKI pertama
PPKI sebagai tindak lanjut dari BPUPKI mengadakan sidang untuk pertama kalinya pada tanggal 18 Agustus 1945, yang menghasilkan:
· Mengesahkan UUD 1945
· Mengangkat Ir. Soekarno dan Moh. Hatta sebagai presiden dan Wakil Presiden
· Untuk sementara pemerintahan dibantu oleh KNIP
Inilah sebagai hari disahkannya UUD 1945 yang berarti juga lahirnya pancasila karena didalam pembukaan UUD 1945 memuat isi dari pada Pancasila yang berisi lima butir:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwkilan;
5. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Moh. Yamin mempopulerkan kesepakatan tersebut dengan nama Piagam Jakarta.
Sidang BPUPKI kedua
Pada sidang kedua BPUPKI tanggal 10 Juli 1945 Ir. Soekarno diminta menjelaskan tentang kesepakatan tanggal 22 Juni 1945 (Piagam Jakarta). Oleh karena sudah mencapai kesepakatan maka pembicaraan mengenai dasar Negara dianggap sudah selesai. Selanjutnya dibicarakan mengenai materi undang-undang dasar (pasal demi pasal) dan diserahkan kepada Mr. Soepomo. Demikian pula mengenai susunan pemerintahan Negara yang terdapat dalam penjelasan UUD.
Sidang PPKI pertama
PPKI sebagai tindak lanjut dari BPUPKI mengadakan sidang untuk pertama kalinya pada tanggal 18 Agustus 1945, yang menghasilkan:
· Mengesahkan UUD 1945
· Mengangkat Ir. Soekarno dan Moh. Hatta sebagai presiden dan Wakil Presiden
· Untuk sementara pemerintahan dibantu oleh KNIP
Inilah sebagai hari disahkannya UUD 1945 yang berarti juga lahirnya pancasila karena didalam pembukaan UUD 1945 memuat isi dari pada Pancasila yang berisi lima butir:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
PROSES NEGARA MENJADI BANGSA
Walaupun Negara Indonesia
memiliki kekayaan yang sangat berlimpah dari Sabang sampai Marauke dengan
sumber daya alamnya berlimpah. Namun, semua ini bukanlah merupakan jaminan
terhadap layaknya kehidupan rakyatnya.
Karena, fakta sosial dilapangan
menunjukkan Negara Indonesia merupakan salah satu Negara didunia ini yang telah
gagal menjadi bangsa yang mandiri. Dimana, kekayaan alam yang berlimpah bukan
untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, tetapi hanya untuk kesejahteraan
bagi para konglomerat dan pemodal asing serta kelompok-kelompok tertentu saja
dinegeri ini.
Sementara, masyarakat banyak
mengalami keguncangan jiwa (Shock Culture), akibat permasalahan kehidupan yang
dihadapinya. Karena selama ini, masyarakat tidak pernah mendapat solusi yang
signifikan dari pemerintah pusat maupun daerah. Politisi sibuk mencitrakan diri
dan mempertahankan kursi. Sedangkan rakyat, kini seakan-akan sudah tidak
memiliki Negara.
Semua ini diakibatkan
ketidakperdulian pemerintah pada rakyatnya lagi. Padahal, kekayaan berlimpah
ruah namun kehidupan masyarakat semakin sulit dan terjepit, baik di kota maupun
di pedesaan yang artinya “Negara gagal”.
Dimana, munculnya permasalahan
ini disebabkan beberapa faktor yang menghantarkan rakyat tidak menikmati
kemakmuran dari hasil negerinya sendiri demi kelangsungan kehidupan yang
sejahtera pertama, produk-produk hukum dan kebijakan politik ekonomi yang
diterapkan pemerintah sudah tidak mengacu pada nilai-nilai sosialis konstitusi
pancasila serta tidak bertujuan menciptakan perlindungan atau mewujudkan kebumi
pertiwi.
Melainkan mengacu dan berkiblat
pada konsep dan nilai-nilai idiologi liberal yang nyata-nyata hanya berpihak
kepada kepentingan serta kebutuhan ruang hidup (lebensraum) kaum pemodal asing
(di negara asalnya Liberalisme ingin ditentang karena sistem ini tak akan
membawa kesejahteraan rakyat).
Saya sangat kecewa dengan
kinerja pemerintahan pusat maupun daerah yang kurang memperhatikan dan
memperjuangkan kehidupan rakyatnya yang masih banyak kehidupan-kehidupannya
dibawah garis kemiskinan yang paling fatal lagi menurutnya, banyak rakyat
Indonesia yang menjual tenaga sampai keluar negeri.
Seharusnya, hal ini tidak
terjadi kalau pemerintah menjalankan kepentingan rakyatnya terlebih dahulu. Hal
ini dapat kita lihat, dengan diberikannya ijin-ijin pada swasta asing untuk
menguasai, mengeksploitasi sumber daya alam (diatas bumi dan diperut bumi)
dalam skala sangat luas dan waktu yang cukup lama seperti, ijin perkebunan,
pemungutan hasil hutan dan pertambangan.
Sedangkan, faktor kedua
kegagalan Negara ini terjadi, akibat bobroknya mentalitas politisi dan iklim
politik yang cenderung menjadikan proses penegakkan hukum pengembang dan
bersifat tebang pilih bahkan mengarah dan menciptakan sistem dan suasana
(milieu) yang melindungi dan turut menyebarkan wabah korupsi secara massal dan
sistematis keseluruh sistem organ dan aspek kehidupan bernegara.
Baik, dari mulai birokrat,
sampai penegak hukum, dari dapur istana sampai dapur senayan. “Kebekuan ini
dapat kita lihat dari banyaknya permasalahan kelas yang tidak dapat
diselesaikan pemerintah secara hukum, akibat adanya tebang pilih seperti, dalam
kasus Century, banyak lagi kasus korupsi kepala daerah yang masih beku karena
kepentingan elit politik.
Semua ini, akibat elit-elit
negeri ini mengadopsi nilai-nilai liberal ditambah korupsi yang kini mewabah,
kehidupan rakyat terus semakin sulit, semakin sulit mendapatkan faktor produksi
seperti tanah dan akses permodalan, faktor produksi tersebut telah dimonopoli
oleh kalangan tertentu, lapisan tertentu, bahkan etnis-etnis tertentu, tak
peduli melampaui batas-batas ketentuan undang-undang dan azas kepatutan.
Saat
ini sumber daya alam bebas dikuasai, dimiliki,dikeruk oleh pemodal dan asing
sehingga saat ini tak heran kita lihat dipedesaan para petani Indonesia trak
lain hanyalah buruh tani dan tuna kisma (petani tak punya tanah).
Negara agraris ini, lebih
memilih menjadi pengimpor beras kentang, kedelai, daging daripada harus membina
mensejahterakan rakyat tani. Belum lagi permasalahan yang terjadi di perkotaan,
banyaknya penggusuran yang dilakukan pemerintah terhadap pedagang tradisional/pedagang
kaki lima (PKL), maupun pemukiman rakyat.
Sudah hal biasa yang digantikan
dengan berdirinya kompleks real estate mewah dan bangunan mall raksasa dan
menjual produk asing bukan gado-gado atau pecal. Akibat dengan banyaknya
penggusuran yang dilakukan pemerintah pada pemukiman warga maka, akhirnya mudah
ditemukan rumah gerobak, rumah kartun perumahan pinggiran rel, atau rumah
gadang, dimana hidup tiga empat keluarga dalam satu rumah.
Pemerintah sibuk mengurusi
kursi, mobil mewah, rumah mewah dan pelesiran dan mengabaikan penyediaan
pemukiman warga kota, berupa rumah sederhana sekalipun sempit (RSSS).
Sedangkan, konstitusi kita jelas dan tegas menyatakan, hajat hidup orang banyak
dikuasai langsung oleh Negara untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Kemudian fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara dan menjadi tanggung
jawab Negara.
Ternyata ini hanya sebatas
untaian kata manis dan puitis belaka dan bukan bagian dari kontrak sosial.
Semua itu, hanya dijadikan sebagai fungsi yang membantu tidur dan mimpi indah
rakyat. Pengertian pucuk pimpinan dinegeri tidak bukan membawa angin segar bagi
rakyat, malah keterpurukan kehidupan rakyat semakin jelas.
Karena pemerintah sekarang yang
dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih tetap mengadopsi dan melanjutkan
nilai-nilai liberal demi kepentingan pemodal dan asing. Jadi, apa kelebihan
Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden Indonesia ? jika, kentang impor,
beras, kedelai dan daging import masih ada.
4 PILAR
Setiap negara pasti mempunyai
pondasi/pilar/dasar-dasar negara, begitu halnya juga dengan negara Indonesia,
negara Indonesia mempunyai pilar-pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
tidak hanya satu tetapi 4 pilar. Konsep ini digagas oleh alm Taufik Kiemas, beliau
menggagas konsep ini mengingat empat pilar ini adalah mutlak dan tidak
bisa dipisahkan dalam menjaga dan membangun keutuhan bangsa. Seperti halnya
sebuah bangunan dimana untuk membuat bangunan tersebut menjadi kokoh dan kuat,
dibutuhkan pilar-pilar atau penyangga agar bangunan tersebut dapat berdiri
dengan kokoh dan kuat, begitu halnya juga dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara ini.
macam-macam
4 pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara:
1.
Pancasila
adalah
ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta: pañca
berarti lima dan śīla berarti prinsip
atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan
bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima sendi utama penyusun Pancasila
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.
Meski terjadi perubahan kandungan
dan urutan lima sila Pancasila yang berlangsung dalam beberapa tahap selama
masa perumusan Pancasila
pada tahun 1945, tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.
Sejarah
Perumusan Pancasila
Dalam upaya merumuskan Pancasila
sebagai dasar negara yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang
dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Setelah
Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen
penetapannya ialah :
5. Rumusan Kelima : Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama (merujuk Dekrit
Presiden 5 Juli 1959)
2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat
UUD 1945 atau UUD ‘45,
adalah
hukum dasar tertulis, konstitusi
pemerintahan negara Republik
Indonesia saat ini. UUD 1945 disahkan
sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada tanggal 18
Agustus 1945. Sejak tanggal 27
Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS,
dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan
UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli 1959.
Pada
tahun 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan, yang mengubah
susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Tujuan,
Pokok, Fungsi UUD1945
•
Landasan Konstitusional atas landasan ideal yaitu Pancasila
•
Alat pengendalian sosial (a tool of
social control)
•
Alat untuk mengubah masyarakat ( a tool
of social engineering)
•
Alat ketertiban dan pengaturan masyarakat.
• Sarana
mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin.
•
Sarana penggerak pembangunan.
•
Fungsi kritis dalam hukum.
•
Fungsi pengayoman
•
Alat politik.
3.
Bhinneka Tunggal Ika
adalah
moto atau semboyan Indonesia. Kalimat ini berasal dari bahasa
Jawa Kuna dan sering diterjemahkan
dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Diterjemahkan per kata, bhinneka berarti “beraneka ragam”. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti
“macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti “satu”. Kata ika berarti “itu”. Semboyan ini
digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang terdiri atas beragam budaya, bahasa daerah, ras, suku
bangsa, agama dan kepercayaan.
4.
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
adalah
bentuk dari negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan, selain itu juga
bentuk negaranya adalah republik, kenapa NKRI, karena walaupun negara Indonesia
terdiri dari banyak pulau, tetapi tetap merupakan suatu kesatuan dalam sebuah
negara dan bangsa yang bernama Indonesia.
Keberadaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) tidak dapat dipisahkan dari peristiwa Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945, karena melalui peristiwa proklamasi tersebut bangsa Indonesia
berhasil mendirikan negara sekaligus menyatakan kepada dunia luar (bangsa lain)
bahwa sejak saat itu telah ada negara baru yaitu Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Apabila ditinjau dari sudut Hukum
Tata Negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lahir pada tanggal 17
Agustus 1945 belum sempurna sebagai negara, mengingat saat itu Negara Kesatuan
Republik Indonesia baru sebagian memiliki unsur konstitutif berdirinya negara.
Untuk itu PPKI dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 telah melengkapi
persyaratan berdirinya negara yaitu berupa pemerintah yang berdaulat dengan
mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, sehingga PPKI disebut sebagai pembentuk
negara. Disamping itu PPKI juga telah menetapkan UUD 1945, dasar negara dan
tujuan negara.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang dibentuk
berdasarkan semangat kebangsaan (nasionalisme) oleh bangsa Indonesia yang
bertujuan melindungi segenap bangsa dan seluruh tampah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosil.
TUJUAN
NKRI
Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdapat dalam
Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea keempat yaitu “Kemudian daripada itu
untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial”.
Dari
rumusan tersebut, tersirat adanya tujuan nasional/Negara yang ingin dicapai
sekaligus merupakan tugas yang harus dilaksanakan oleh Negara, yaitu:
1.
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2.
Memajukan kesejahteraan umum;
3.
Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4. Ikut
serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan social.
Setelah membahas 4 pilar berbangsa
dan bernegara, 4 pilar tersebut penting untuk kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kalau kita hanya berpikir bahwa Pancasila sebagai dasar dan
pandangan hidup bangsa Indonesia, juga sebagai alat pemersatu bangsa, UUD
1945 merupakan konstitusi dalam bernegara. Dua hal ini sudah menjadi sesuatu
yang sangat fundamental bagi bangsa Indonesia, tapi bagi Almarhum Taufik Kiemas,
dua pilar ini belumlah cukup, beliau mengeluarkan gagasan Empat Pilar Berbangsa
yakni, Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Dalam pemikiran almarhum Empat Pilar ini adalah mutlak dan
tidak bisa dipisahkan dalam menjaga dan membangun keutuhan bangsa.
Dua pilar Pancasila dan UUD 1945
masih belum terasa penerapannya. Pancasila baru saja masuk kedalam kurikulum
pendidikan, sementara amanat UUD 1945 masih banyak yang diabaikan. Semangat
persatuan dan kesatuan bangsa saat ini sudah mulai musnah, dan itu pada
akhirnya akan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keprihatinan terhadap hancurnya
persatuan dan kesatuan bangsa inilah agaknya yang menginspirasi Taufik Kiemas
mengeluarkan gagasan Empat Pilar Kebangsaan. Memang kalau dicermati empat pilar
ini memanglah penyanggah persatuan dan kesatuan bangsa, dan empat pilar inilah
yang menjadi inspirasi kekuatan para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.
Bangsa ini terutama para pemimpinnya
sudah mengalami degradasi moral secara signifikan, melakukan tindak kejahatan
korupsi sudah dianggap prestasi dalam mengumpulkan kekayaan menjadi tugas utama
mereka saat menjadi pejabat negara. Sungguh suatu hal yang sangat
memprihatinkan, melihat kondisi saat ini yang sudah tidak sesuai lagi dengan 4
pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mungkin sudah saatnya gagasan
empat pilar oleh Taufik Kiemas tersebut sudah selayaknya dilanjutkan dan
diimplementasikan secara benar, agar negara ini tidak melupakan bahwa negara ini
mempunyai 4 pilar penting yang harus selalu dijaga dan juga harus dijalankan
dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Presiden
pertama Republik Indonesia Soekarno dalam Pidato Trisakti tahun 1963
menegaskan:
1. berdaulat
secara politik
2. berdikari secara
ekonomi
3. berkepribadian
secara sosial budaya
Dalam
bidang kemandirian politik, Soekarno telah berhasil memperjuangkan Pancasila
sebagai kemandirian bangsa Indonesia dengan memiliki ideologi negara. Soekarno
juga telah berhasil mempertahankan persatuan dengan menumpas setiap
pemberontakan. Hanya saja karena kurangnya kemandirian dalam persoalan
persenjataan, Soekarno cenderung mendapatkan pasokan senjata dari Rusia,
sehingga ideologi komunis berkembang di Indonesia yang puncaknya adalah
pertistiwa gerakan 30S/PKI. Sedangkan dalam politik luar negerinya, Soekarno
ikut proaktif dalam mendorong terciptanya perdamaian dunia. Dalam politik ini,
Soekarno berhasil mengadakan Konferensi Asia-Afrika (KAA), namun karena
negara-negara yang hadir memiliki afiliasi politik terhadap kekuatan Komunis,
sehingga kemandirian politik yang dicita-citakan makin bias, terlebih lagi
ketika terjadi konfrontasi dengan negara Malaysia. Pidato-pidato Soekarno saat
itu, kerap dianggap menggeser kedudukan Pancasila sebagai dasar negara.
Meskipun, Soekarno sendiri berpendapat konsep-konsep itu merupakan penjabaran
Pancasila.
Dalam
kemandirian sosial budaya, Soekarno secara tegas menolak budaya asing, padahal
secara natural suatu bangsa tidak dapat mengisolasi diri dari pengaruh asing.
Demi mewujukan kemandirian sosial budaya, pada era Soekarno hampir terperosok
pada paham chauvinistik dengan mengisolasi diri dan fasisme dengan merendahkan
bangsa lain, sehingga sering terjadi konflik dengan negara-negara tetangga.
Sedangkan
dalam kemandirian secara ekonomi ditegaskan Soekarno, bahwa lebih baik potensi
sumberdaya alam Indonesia dibiarkan, hingga para putra bangsa mampu untuk
mengelolanya. Bung Karno menolak eksploitasi atau penjajahan oleh kekuatan
asing. Sayang sekali, sikap kemandirian itu bias oleh pertarungan politik
internal sehingga yang muncul adalah konfrontasi melawan Barat dan tampak
keberpihakan atau kedekatan kepada negera-negara komunis. Pada masa ini,
semangat nasionalisme mengarahkan pada nasionalisasi perusahaan asing menjadi
perusahaan milik negara. Peluang bagi swasta besar untuk berkembang dapat
dikatakan minim. Pandangan liberalisasi ekonomi pada masa itu dapat dikatakan
sebagai musuh negara. Kecenderungan dan keberpihakan Soekarno mengakibatkan
terjadinya krisis politik dan ekonomi yang terjadi pada tahun 1965, sehingga
ada tuntutan Ampera (amanat penderitaan rakyat), yaitu bubarkan PKI, perombakan
kabinet dan turunkan harga.
Ajaran
Soekarno yang diadopsi oleh Fidel Castro dalam konteks Kuba adalah ajaran Trisakti.
Yang menarik adalah bahwa Fidel Castro mengadopsi dan menerapkan prinsip
Soekarno itu secara konsisten dan tegar dalam seluruh sistem pemerintahannya.
Konsistensi yang paling kentara adalah menolak segala bentuk imperialisme dan
kapitalisme yang merupakan pendiktean oleh Barat tentang ekonomi, politik dan
budaya. Castro sangat jelas menolak kehadiran dan campur tangan IMF dalam
negaranya, bahkan menyerukan agar lembaga pendanaan kapitalis internasional
yang menindas negara-negara berkembang itu semestinya dibubarkan dan dihentikan
perannya. Ini merupakan wujud pelaksanaan Trisakti yang konsisten oleh Castro
dalam konteks Kuba, yakni kemandirian dalam politik, berdikari dalam ekonomi
dan berkepribadian dalam kebudayaan. Kekuatan ekonomi sendiri merupakan
landasan bagi pemerintah Kuba untuk membangun negara dan rakyatnya. Tidak ada
hutang luar negeri yang diterima sebagai landasan, sehingga tak ada kewajiban
cicilan bunga hutang yang tinggi yang harus dibayar oleh pemerintah Kuba.
Seluruh pendapatan negara dialokasikan pertama-tama untuk belanja tunjangan
sosial, dan kedua untuk belanja pendidikan. Kepentingan lain berada dalam
urutan prioritas berikutnya. Karena berdikari dalam bidang ekonomi, Kuba telah
mampu mempertahankan kedaulatan dalam bidang politik dan kedaulatan dalam
kebudayaan nasionalnya.
RUANG PUBLIK AGAMA
Agama
selalu merupakan bagian dari area kajian filsafat politik kontemporer. Di
berbagai masyarakat di dunia, agama memainkan peranan penting di dalam
perdebatan publik, maupun isu-isu sosial lainnya. Komunitas-komunitas religius
di masyarakat, mulai dari agama Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, Islam, dan
yang lainnya, berperan aktif di dalam kegiatan-kegiatan politik maupun sosial.
“Orang”, demikian tulis Michael Reder, pengamat filsafat politik dan agama dari
München, “kini berbicara tentang repolitisasi dari agama… dimana simbol-simbol
agama dan bahasa dipindahkan ke bidang-bidang yang non religius.” (Reder, 2008)
Di
dalam realitas kehidupan banyak bangsa, agama dan kultur saling berpaut dan
mempengaruhi kehidupan pribadi maupun sosial orang-orang yang ada di dalamnya.
Di era globalisasi ini, muncul pula agama-agama baru yang memiliki banyak
pengikut, walaupun sebelumnya mereka adalah sekte-sekte kecil saja yang terus
berkembang pesat. Proses sekularisasi di Eropa, di mana agama ditempatkan
semata sebagai urusan pribadi setiap orang, rupanya tidak mengecilkan peran
agama di dalam kehidupan publik. Agama tidak mati. Ia memang berubah, dan
perubahannya juga membawa perubahan sosial di dalam masyarakat.
Agama
dan Pemikiran Kontemporer
Di
dalam diskusinya dengan para dosen di Hochschule für Philosophie der Jesuiten
München, Jürgen Habermas, filsuf Jerman kontemporer, mengembangkan dan
menyampaikan pemikirannya mengenai agama. (Schmidt/Reder, 2008) Filsuf-filsuf
kontemporer lainnya, seperti Jacques Derrida, Richard Rorty, dan Gianni
Vattimo, mengajukan pemikirannya untuk memahami peran agama di dalam masyarakat
demokratis modern.
Habermas
berpendapat, bahwa agama memiliki peran yang penting untuk menjaga persatuan di
dalam masyarakat majemuk. Namun, otoritas religius, yang diklaim berasal dari
Tuhan oleh agama-agama, harus dibahasakan ulang menjadi bahasa-bahasa rasional
yang mampu menarik persetujuan dari orang-orang yang mendengarnya. (Habermas,
1991) Agama tidak hanya memiliki fungsi spiritual, melainkan juga fungsi sosial
untuk menjaga persatuan dan harmoni masyarakat. Namun, di dalam masyarakat
modern demokratis yang majemuk, agama tidak lagi bisa mengklaim kebenaran
mutlaknya, dan meninggalkan kelompok-kelompok lain yang memiliki perbedaan cara
pandang.
Dalam
hal ini, Habermas sejalan dengan Immanuel Kant, filsuf masa Pencerahan asal
Jerman. Mereka melihat agama sebagai dasar dan sumber dari tindakan-tindakan
bermoral manusia. Jika agama dilenyapkan, maka tindakan-tindakan bermoral
manusia, yang menjadi dasar dari terbentuknya peradaban, juga akan melemah.
Habermas menyebut fenomena ini sebagai, “Kerinduan atas Apa yang Kurang.”
(Habermas dalam Schmidt/Reder, 2006)
Richard
Rorty, filsuf politik dari AS, memiliki pendapat berbeda. Menurutnya, pembedaan
tegas antara ruang publik dan ruang privat tetap harus dijaga, dan agama harus
tetap menghormati pembedaan tersebut. Jika tidak, keutuhan masyarakat
demokratis akan terancam, karena bahasa-bahasa agama yang bersifat eksklusif
pada agama tertentu akan dipaksakan kepada masyarakat luas yang terdiri dari
beragam kelompok. Dalam konteks ini, ia menegaskan, bahwa agama adalah ancaman
bagi sistem politik demokratis, terutama demokrasi liberal. (Rorty, 2006)
Jacques
Derrida, filsuf Prancis kontemporer, mencoba masuk ke dalam inti perdebatan,
yakni hubungan antara iman dan akal budi. Baginya, hubungan ini tidaklah pasti.
Dengan metode dekonstruksinya, ia berusaha menunda kepastian makna yang muncul
dari dua konsep ini, dan menemukan, bahwa keduanya berpaut erat, tanpa bisa
dipisahkan secara jelas dan tegas, seperti yang diinginkan oleh kaum
positivistik ateistik. (Derrida, 2001) Iman adalah sumber dari akal budi dan
akal budi pun selalu menjadi penopang bagi iman manusia.
Sejalan
dengan para pemikir komunitarisme, Derrida juga menegaskan, bahwa agama dan
kultur selalu berpaut erat, dan tak bisa dipisahkan begitu saja. Ajaran-ajaran
agama selalu dibaca dalam kerangka berpikir kultural tertentu yang dihidupi
suatu masyarakat. Perjumpaan keduanya menghasilkan pola kultural yang unik.
Pertautan antara agama dan kultur menjadi semakin rumit di era globalisasi ini,
di mana ruang dan waktu menjadi begitu relatif, akibat perkembangan yang begitu
pesat dari teknologi informasi dan komunikasi. (Derrida, 2001)
Niklas
Luhmann, filsuf dan sosiolog asal Jerman, mengembangkan teori sistemnya untuk
memahami peran agama di dalam masyarakat modern yang demokratis dan majemuk.
Agama adalah salah satu sistem yang ada di masyarakat, dan salah satu peran
sistem, menurut Luhmann, adalah mengurangi kerumitan di dalam masyarakat. Agama
mengembangkan kepercayaan, terutama kepercayaan antar pemeluknya, dan dengan
kepercayaan, berbagai aktivitas sosial masyarakat dapat dipersingkat. Kecurigaan
adalah akar dari inefisiensi dan konflik. Dengan melihat agama sebagai sistem
kepercayaan yang mengurangi kerumitan masyarakat, Luhmann menyoroti aspek
duniawi dari agama. (Luhmann, 2002)
Namun,
Luhmann juga sadar, bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan manusia akan
adanya Tuhan, atau yang transenden. Agama berpijak sekaligus di dua area
sistem, yakni area sosial sebagai penjamin kepercayaan dan area spiritual
sebagai jembatan kepada yang transenden. Di dalam masyarakat demokratis modern,
agama memiliki peran yang ambivalen sebagai suatu bentuk sistem yang unik yang
ada di masyarakat. Keduanya berjalan dan menjamin keberadaan masyarakat dan
peradaban manusia itu sendiri.
Identitas
dan Toleransi
Michael
Reder juga menegaskan, bahwa agama adalah pemenuh kebutuhan eksistensial
manusia. Setiap orang perlu untuk merasa terikat dengan komunitas tertentu.
Perasaan terikat ini penting di dalam proses pembentukan identitas pribadi dan
sosial setiap orang. Di dalam masyarakat demokratis, kejelasan identitas
pribadi maupun kelompok amatlah penting, supaya ia bisa menyampaikan kehendak
dan kepentingannya secara lugas dan jelas, namun dengan bahasa-bahasa rasional
yang bisa dipahami oleh anggota masyarakat lainnya. (Reder, 2008)
Sebagaimana
diamati oleh Vattimo, filsuf kontemporer asal Italia, dan Rorty, agama kini
memiliki nama jelek sebagai biang keladi konflik dan perpecahan di berbagai
belahan dunia. Agama menjadi sumber bagi kebencian dan diskriminasi di berbagai
negara. Maka dari itu, agama perlu untuk kembali membuka ruang untuk toleransi,
yakni toleransi khas demokrasi liberal. (Vattimo/Rorty, 2006) Ide toleransi ini
sebenarnya bukan ide baru bagi agama. Setiap agama selalu memiliki aspek
tolerannya sendiri. Yang perlu dilakukan adalah memperkuat tekanan pada sisi
toleran setiap agama, dan kemudian mengubahnya menjadi tindakan dan kebijakan
politik yang tegas.
Ramalan
para pemikir modern, bahwa agama akan hilang dari peradaban manusia, ternyata
salah. Lepas dari segala ambivalen yang muncul, agama tetap memainkan peranan
yang besar di dalam kehidupan manusia. Di area pendidikan, kesehatan, filsafat,
politik, dan budaya, peran agama tetap kuat, dan bahkan semakin berkembang.
Motif-motif religius tetap mewarnai beragam aspek kehidupan manusia, dan menghasilkan
pencapaian-pencapaian luar biasa yang bisa memperbaiki kualitas hidup banyak
orang.
Namun,
agama sekarang ini tidak dapat berdiri sendiri. Setiap agama perlu untuk
belajar bersama dan mengenal agama-agama lainnya. Agama juga perlu menimba ilmu
pengetahuan dari penelitian-penelitian ilmiah dan refleksi-refleksi filsofis
yang aktual. Di dalam masyarakat modern yang demokratis dan majemuk, seperti
ditegaskan oleh Habermas, agama adalah sumber spiritual bagi tindakan-tindakan
bermoral manusia, namun kini harus dibahasakan dengan bahasa-bahasa ilmiah dan
filosofis, yang bisa ditangkap dan dipahami oleh masyarakat luas, termasuk oleh
kelompok ateis yang anti agama dan anti iman sekalipun.
RUANG PUBLIK IDEOLOGI
Habermas
merumuskan unsur normatif dari ruang publik, yakni sebagai bagian dari
kehidupan sosial, dimana setiap warga negara dapat saling berargumentasi
tentang berbagai masalah yang terkait dengan kehidupan publik dan kebaikan
bersama, sehingga opini publik dapat terbentuk. Ruang publik ini dapat
terwujud, ketika warga berkumpul bersama untuk berdiskusi tentang
masalah-masalah politik.
Refleksi
Habermas tentang ruang publik berdasarkan deskripsi historisnya selama abad
ke-17 dan ke-18, ketika cafe-cafe, komunitas-komunitas diskusi, dan salon menjadi
pusat berkumpul dan berdebat tentang masalah-masalah politik. Refleksi atas
deskripsi historis tersebut diperluas Habermas untuk merumuskan konsep ideal
partisipasi publik didalam masyarakat demokratis dewasa ini.
Arti
penting dari refleksi Habermas ini terletak pada konsepsinya tentang proses
diskursus, yang diidealkannya haruslah berbentuk perdebatan yang rasional dan
kritis. Perdebatan ini dipagari oleh aturan-aturan yang melarang penggunaan
bahasa yang bersifat emotif, dan fokus terhadap isi serta kerangka yang
rasional saja.
Partisipan
debat juga diharuskan memiliki kepentingan bersama atas kebenaran, yang berarti
mereka juga harus dapat menunda perbedaan status, sehingga mereka berbicara
dalam keadaan setara. Sikap kritis juga merupakan salah satu unsur kunci yang
memegang peranan, sehingga berbagai bentuk argumentasi yang disodorkan dapat
diuji melalui debat publik, dan partisipan dapat menemukan makna secara bersama
sebagai hasil dari proses debat rasional kritis tersebut (calhoun, 1993).
Media
dan Demokrasi
Habermas juga sangat menekankan peran kritis dari media didalam ruang publik. Ia membedakan antara media dimasa-masa awal yang memusatkan diri pada berbagai isu kontroversi dan debat politik rasional, dan media dewasa ini yang seringkali menjadikan berita sebagai barang dagangan saja.
Habermas juga sangat menekankan peran kritis dari media didalam ruang publik. Ia membedakan antara media dimasa-masa awal yang memusatkan diri pada berbagai isu kontroversi dan debat politik rasional, dan media dewasa ini yang seringkali menjadikan berita sebagai barang dagangan saja.
Ia
kemudian mendeskripsikan perkembangan surat kabar pada awal abad ke-17 di
Jerman, dan berkomentar “pers telah pertama kali dalam sejarah menciptakan
badan publik yang kritis yang terlibat dalam debat kritis tentang
masalah-masalah politik” (Habermas, 1989) Kondisi semacam itu tidak bertahan
lama.
Kontroversi
semakin berkurang didalam media dewasa ini. Media tidak lagi mengambil posisi
dan berargumentasi atas posisinya, melainkan menghindar, karena menurut mereka,
semakin mereka mengambil jarak, semakin berita itu akan mengandung kebenaran.
Editorial diberbagai media jarang sekali
menyediakan ruang yang kondunsif untuk menciptakan debat politik rasional
kritis yang melibatkan warga negara lainnya. (Calhoun, 1993)
Peran
Ruang publik didalam demokrasi
Habermas
menekankan bahwa pendapat pribadi seseorang, setelah disosialisasikan secara
publik, belumlah dapat dijadikan sebagai opini publik hasil proses debat
didalam ruang publik. Opini semacam itu belumlah menempuh proses pembentukan
opini melalui debat kritis rasional.
Ia
juga menyatakan bahwa jika demokrasi ingin diterapkan didalam masyarakat
kompleks dan majemuk seperti dewasa ini, proses mencapai kesepakatan bersama
melalui kehadiran fisik partisipaan haruslah dilampaui, yakni warga negara,
yang karena berbagai alasan tidak bisa hadir secara fisik didalam proses
deliberasi, dapat menyumbangkan opininya secara tidak langsung, yakni secara
virtual. (Habermas, 1990)
Virtualitas kehadiran partisipan tersebut bukanlah
tanpa kritik. Habermas sendiri melihat kemunduran akibat rekayasa media atas
subyek partisipan, dan kemudian menjatuhkan semua tanggungjawab pada para
wartawan, yang kerap kali memanipulasi data untuk mendapatkan berita yang lebih
sensional, dan lebih menjual.
Kondisi
semacam itu tidak akan pernah dapat menciptakan suatu bentuk opini publik yang
otentik, yang sungguh-sungguh mengena ke inti permasalahan, dan kemudian
mencari solusi dari inti permasalah tersebut. Opini publik yang otentik hanya
dapat terbentuk, jika partisipan rasional ikut serta didalam debat politik
rasional, yang menyangkut kepentingan bersama diantara pihak-pihak yang berbeda
secara rasional.
“Proses
komunikasi masyarakat, sesuai dengan ide akarnya, adalah sebuah prinsip demokrasi
yang tidak hanya mengandaikan bahwa semua orang dapat berbicara, dengan
kesempatan yang sama, tentang persoalan pribadinya, keinginan dan keyakinannya,
proses komunikasi yang otentik hanya dapat dicapai didalam kerangka bahwa semua
pendapat pribadi ataupun kelompok dapat berkembang didalam debat rasional
kritis dan kemudian membentuk opini publik.” (Habermas, 1989)
Pada
awal abad ke-19, opini publik yang terbentuk dari debat rasional kritis menjadi
proses resmi didalam parlemen-parlemen di Jerman dan Inggris. Berbagai pidato
politik dibacakan didepan parlemen, seperti yang juga dilakukan sekarang,
dengan pertimbangan rasional atas kepentingan publik sebagai keseluruhan,
sehingga pengaruhnya semakin besar didalam kehidupan masyarakat untuk mendorong
kemajuan di semua bidang kehidupan sosial. (Habermas, 1989)
“Pembentukan
opini publik dengan segala mekanismenya melampaui periklanan belaka. Opini
publik dapat terbentuk dengan secara sistematis menciptakan isu-isu krusial dan
substansial yang menyangkut kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan”
(Habermas, 1989)
Didalam
upayanya untuk membentuk opini publik yang otentik, media tampak belum maksimal
menjalankan fungsinya, terutama karena media tidak memberikan ruang yang cukup
untuk proses debat rasional, dan proses diskursif didalam pembentukan opini,
dan yang lebih penting lagi didalam proses pembentukan kehendak politik. Proses
komunikasi didalam ruang publik berarti proses pembentukan opini publik yang
otentik, yang dimatangkan didalam proses debat kritis itu sendiri.
“Keputusan
politik yang otentik tidak mencerminkan kehendak dari semua, melainkan hasil
dari pertimbangan semua pihak. Ini adalah proses dimana kehendak semua orang
dibentuk dan dirundingkan untuk menjamin legitimitas dari hasilnya, daripada
kumpulan semua kehendak yang sudah ada sebelumnya.” (Habermas, 1989)
Menurut
Habermas, upaya untuk merevitalisasi ruang publik terletak pada upaya
pembentukan konsensus rasional bersama, daripada memanipulasi opini masyarakat
umum demi kepentingan kekuasaan ataupun peraihan keuntungan finansial semata.
Untuk itu, ia membedakan dua macam opini publik, yakni sebagai opini publik
yang bersikap kritis terhadap kekuatan politik dan ekonomi, dan opini publik
yang dapat dimanipulasi untuk mendukung orang-orang, institusi, ataupun
ideologi tertentu, yang notabene ini bukanlah opini publik sama sekali.
Ruang
publik memiliki fungsi yang sangat besar didalam masyarakat demokratis, yakni
sebagai ruang dimana opini publik yang otentik, yang bersikap kritis terhadap kekuatan
politik maupun ekonomi demi mencapai keseimbangan dan keadilan sosial, dapat
terbentuk dan tersebar luas kepada seluruh warga negara, sekaligus sebagai
penekan terhadap segala bentuk manipulasi ruang publik, yang seringkali
digunakan untuk membenarkan aspek kekuasaan tertentu, dan itu juga berarti,
membenarkan ketidakadilan tertentu.
RUANG PUBLIK ASPIRASI
Sejak dibukanya kran demokrasi pasca
kajatuhan Orde Baru, gerakan protes, gelombang demonstrasi, protes para
facebookers di cyberspace maupun berbagai penyuaraan rakyat atas realitas
sosial dan politik di negeri ini menyeruak secara bebas di ruang-ruang publik.
Lihat saja misalnya deretan kasus cicak-buaya KPK versus POLRI, skandal Bank
Century, kasus dugaan malpraktek atas Prita Mulyasari kontra Omni Internasional
maupun fenomena-fenomena lainnya. Peristiwa-peristiwa tersebut bisa kita dapati
di berbagai media cetak dan elektronik, hadir menjadi lanskap sehari-hari dalam
kehidupan politik Indonesia pasca reformasi. Pada kenyataannya, suara publik
(baca: rakyat) yang disuarakan itu, meskipun tidak selalu berhasil mempengaruhi
jalannya pemerintahan, namun terbukti tidak jarang mampu mendesak para pemegang
otoritas untuk merevisi kebijakan-kebijakan yang dipandang dalam “ruang publik”
sebagai keputusan kontroversial.
Meskipun sangat lemah untuk
menghadapi kekuatan-kekuatan birokrasi negara dan kepentingan-kepentingan
industri media, kemunculan “publik” yang memberikan peran pengawasan terhadap
pemerintah seperti yang terjadi dalam era reformasi ini menjadi begitu
strategis. Di dalam era yang menjunjung tinggi demokratisasi ini,
pemerintahan tidak lagi bisa “bermain” sendirian di atas panggung kekuasaan.
Pemerintah mau tidak mau harus memperhitungkan publik dan aspirasinya justru
demi legitimatas atas setiap kebijakan yang dikeluarkan. Intinya, jika sebuah
negara benar-benar ingin hidup dalam alam demokrasi, pemerintahnya harus
membangun kanal-kanal komunikasi dengan publik.
Partisipasi rakyat disuarakan
melalui corong demokrasi kebebasan berbicara itulah yang disebut sebagai ruang
publik (public shpere) dalam literatur filsafat dan ilmu-ilmu sosial.
Keterlibatan rakyat secara luas dan bebas dalam panggung komunikasi politik dan
partisipasi demokratis dalam konteks tersebut yang coba dijelaskan buku
berjudul Ruang Publik; Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai
Cyberspace ini. Buku ini mencoba menawarkan jawaban berbagai dinamika persolan
demokrasi dengan melacak persoalan partisipasi demokratis itu mulai dari zaman
Yunani kuno, ketika demokrasi berlangsung dalam polis (negara kota), sampai
pada masa cyberspace seperti saat ini. Secara sederhana, konsep “ruang publik”
bertujuan mendorong partisipasi seluruh warga-negara untuk mengubah
praktek-praktek sosial dan politik mereka lewat reformasi hukum dan politik
secara komunikatif. Sayangnya, seringkali opini umum yang dihasilkan lewat
komunikasi dalam ruang publik justru dikebiri oleh penguasa untuk melanggengkan
kekuasaan.
Selama kekuasaan Orde Baru,
komunikasi politik di Indonesia hampir tidak pernah memperlihatkan wujudnya
yang utuh. Di antara gejalanya yang dapat kita lihat adalah adanya kenyataan
terbelenggunya kebebasan berpendapat, termasuk keleluasaan berekspresi politik,
sehingga tidak memberikan jalan yang memadai bagi tumbuhnya partisipasi politik
secara bebas dan konstruktif. Bahkan, kekuatan sosial politik pun tidak mampu
menembus kebekuan komunikasi politik. Partai politik yang ada lebih dari
sekadar rerpresentasi alat kekuasaan ketimbang sebagai alat demokrasi bagi
upaya menyalurkan aspirasi yang tumbuh dari bawah. Demikian pula
kekuatan-kekuatan sosial politik lainnya, cenderung menjadi subordinasi dari
proses kekuasaan yang tengah berlangsung.
Di Eropa abad ke-18, surat kabar
memiliki peranan penting dalam membangun opini umum itu. Jika rezim komunis dan
fasis yang menguasai suatu negara, mereka berkepentingan menunggangi media
tersebut untuk melanggengkan kekuasaanya. Dengan menguasai opini dan ruang
publik, pemilik pasar kapitalistik mengubahnya menjadi barang dagangan yang tunduk
pada logika keuntungan semata.
Ekspansi pasar kapitalis pada muaranya akan mencabik-cabik ruang publik itu dan
menghapus ruang kritisnya dalam demokrasi dikarenakan komersialisasi opini
publik (bab 7, hlm. 185). Habermas bahkan menyebut penguatan peran penguasa
dalam mengawasi ruang publik itu sebagai “refeodalisasi” ruang publik,
kenyataan yang benar-benar berlangsung dalam rezim-rezim otoriter seperti Nazi
Jerman, Komunisme Uni Soviet dan Orde Baru.
Bagi masyarakat Indonesia sebelum
kemerdekaan, pengertian ruang publik sebagai arena komunikasi sejatinya
bukanlah barang asing, karena dalam sejarah kebangkitan nasioanl yang dirintis
oleh Boedi Oetomo, kita dapat menemukan berbagai asosiasi warga yang telah
berhasil membangun solidaritas nasional yang melampaui suku-suku bangsa dan
agama-agama di Nusantara. Surat-surat kabar, pos, forum-forum — berperan
menjadi media yang efektif membangun opini umum yang pada gilirannya ikut
mendorong solidaritas sebaga suatu bangsa.
‘Soempah Pemoeda’ pada 28 Oktober
1928 adalah bukti nyata buah embrio ruang publik dalam sejarah masyarakat
Indonesia. Bangsa adalah – seperti dikatakan Ben Anderson – merupakan imagined
community, komunitas rekaan. Rekaan tersebut tidak akan berdaya untuk
merekatkan suku-suku yang terpisah-pisah jika tidak berasal dari opini umum
yang terbangun di antara anggota komunitas itu.
Dengan gaya penulisan yang tajam,
kuat, dan mengalir, tema-tema penting seputar dinamika ruang publik dalam alam demokrasi
tersebut digali, diolah, direfleksikan, dan dipaparkan dengan sangat baik oleh
para penulisnya. Selain menggunakan pendekatan filsafat dalam sebagai pisau
analisisnya, pendekatan sejarah, teologi, seni, arsitektur dan sosiologi turut
digunakan untuk memperkaya perspektif pembaca. Dengan berbagai pendekatan
itulah di berbagai bagian buku ini, pembaca akan mendapatkan pemahaman bahwa
ruang publik tidak hanya menjadi dominasi elit penguasa, pasar dan media
massa-elektronik pun mengambil peran dominasi yang menggantikan peran“publik”
itu sendiri (hlm. 269).
Dalam penyajianya, tulisan demi
tulisan dalam buku ini meniscayakan bahwa demokrasi merupakan salah satu sistem
yang dipilih karena mengakomodasi aspirasi politik yang menuntut keterlibatan
sebanyak mungkin warga negara di satu sisi. Sementara di sisi lain, proses
untuk bisa menyentuh partisipasi seluruh warga itu, akan bergantung pada
fasilitas informasi dan komunikasi yang memungkinkan satu sama lain dapat
berinteraksi. Buku ini tidak hanya membongkar secara komprehensif dan lengkap
mengenai persoalan konseptual “ruang publik”, melainkan juga menyarankan jalan
keluar yang diyakini dapat memberi “nyawa” kembali dalam memerdekakan ruang
publik dari himpitan pasar dan tirani kekuasaan.
RUANG PUBLIK BUDAYA
Keunggulan
suatu bangsa adalah karya tangan dari
bangsa itu sendiri, dan bukan otomatis turun dari langit. Ratusan ribu doa akan
percuma, jika orang tetap merampok
dan bertindak merusak. Ini yang menurut saya harus ditekankan terlebih dahulu,
sebelum kita berupaya merancang budaya yang melahirkan keunggulan di berbagai
bidang di Indonesia.
Di era
globalisasi sekarang ini, kekuatan suatu bangsa bukan semata sumber daya alam
atau luas wilayahnya, melainkan pertama dan terutama adalah kekuatan kultur yang melahirkan
manusia-manusia yang kreatif dan luhur. Namun, seperti sudah dijelaskan
sebelumnya, kultur tidak jatuh dari langit, melainkan hasil dari karya manusia.
Kekuatan kultur dari suatu bangsalah yang mendorong bangsa itu mampu berkompetisi
sekaligus bekerja sama untuk melahirkan kemakmuran
bersama.
Kebebasan dan Rasa
Aman
Pertanyaan
kunci berikutnya adalah, bagaimana membentuk kultur yang melahirkan
manusia-manusia kreatif sekaligus luhur tersebut? Saya melihat setidaknya
adalah lima hal yang bisa dan perlu
untuk diusahakan. Yang pertama adalah kebebasan.
Dalam arti ini, masyarakat mendorong setiap warganya untuk secara bebas mengejar panggilan hidup dan mengembangkan keahlian mereka, tanpa
paksaan.
Ini adalah
unsur yang amat penting. Kebebasan, dalam wujud kesempatan untuk mengejar
panggilan hati dan mengembangkan diri semaksimal mungkin, adalah tenaga pendorong kreativitas dan
keluhuran manusia yang utama. Maka, ia tak
boleh diinjak atas alasan apapun, baik itu alasan budaya, ataupun alasan
agama. Jika kebebasan diancam, maka kreativitas pun akan bungkam.
Kebebasan
harus dibarengi juga dengan rasa aman.
Orang perlu merasa aman dari bahaya kriminal (dari anggota masyarakat lain)
ataupun kejahatan negara, supaya ia bisa mencipta. Ia juga butuh rasa aman,
bahwa ketika ia sakit atau terluka, negara dan masyarakat akan siap
membantunya. Kebebasan tanpa rasa aman adalah sia-sia.
Orang juga
harus bebas dari diskriminasi atas dasar agama, ras, suku, ataupun usia. Ia
harus diperlakukan setara sebagai
manusia yang juga memiliki hak dan kewajiban. Kesetaraan murni memang mitos,
karena tak akan pernah terwujud di dalam realitas. Namun, sebagai kecenderungan
umum, kesetaraan perlu untuk diciptakan, guna mendorong terbentuknya budaya
unggul yang kreatif dan luhur.
Komunitas dan
Pengakuan
Orang tak
bisa mencipta sendirian. Ia membutuhkan dukungan
dalam bentuk komunitas yang secara bersama-sama mencipta. Komunitas ini
tempat orang bertukar pikiran dan informasi, guna mendorong upaya masing-masing
untuk mencipta. Komunitas juga sumber
motivasi, ketika orang lelah dalam upaya kreatif, dan tergoda untuk
berhenti.
Orang juga
tak bisa mencipta melulu dalam
keadaan aman dan nyaman. Ia juga perlu tekanan dan kendala, walaupun sedapat
mungkin, tekanan dan kendala tersebut tak
menghambat kebebasan maupun rasa amannya. Tegangan antara rasa aman-nyaman
di satu sisi dan hambatan maupun tekanan di sisi lain ini mendorong orang untuk
sungguh termotivasi untuk mencipta.
Contoh konkretnya: tekanan dalam bentuk deadline,
perbaikan kualitas kerja, target kerja yang lebih tinggi, dan bentuk-bentuk tekanan kreatif lainnya.
Orang juga
tak tergerak untuk mencipta, ketika ia tahu, bahwa ia tak akan mendapatkan
pengakuan atas karyanya. Maka, pengakuan adalah sesuatu yang penting. Saya tak
bermaksud memberikan orang uang, supaya ia mencipta, melainkan nama dan
karyanya diakui sebagai suatu sumbangan nyata bagi perkembangan peradaban
manusia. Perjuangan hidup manusia, sebagaimana berulang kali dikatakan oleh
Axel Honneth, filsuf Jerman asal Frankfurt, ditandai dengan tujuan abadi
manusia untuk mendapatkan pengakuan.
Memanusiakan Warga
Kelima nilai ini, yakni
kebebasan, rasa aman, komunitas, kesetaraan, adanya hambatan kreatif, dan
pengakuan, pada hemat saya, adalah kondisi-kondisi yang memungkinkan (die Bedigungen der Möglichkeit) untuk
lahirnya budaya unggul di Indonesia. Dengan adanya budaya unggul ini, orang
bisa dengan gembira menghasilkan karya-karya baik untuk perkembangan hidup
manusia. Ini kekuatan sejati suatu
bangsa, dan ini jauh lebih penting
dari sumber daya alam yang berlimpah atau doa panjang yang berbusa-busa yang
biasanya menutupi borok moral tertentu.