Krisis Ekonomi Sebagai Kasus
Di Indonesia, sebelum krisis ekonomi terjadi, sekian juta anak,
berumur antara 10-14 tahun, dinyatakan oleh statistik resmi sebagai pekerja
anak. Setelah krisis berlangsung selama lebih dari dua tahun, jumlah anak yang
bekerja ditengarai meningkat. Banyak anak yang semula hanya bersekolah dan
tidak bekerja kini menggunakan sebagian waktunya untuk bekerja. Banyak pula
anak yang semula bekerja sembari bersekolah kini putus sekolah dan menjadi pekerja
penuh waktu. Begitu pula, anak yang bekerja lebih dari 25 jam/minggu jumlahnya
menjadi lebih banyak.
Krisis ekonomi membuat semakin banyak anak yang bekerja. Krisis
juga membuat banyak anak menjadi rawan putus sekolah. Dalam contoh kasus
diatas, disoroti secara khusus dua dampak krisis ini. Kedua dampak tersebut,
tidak perlu penjelasan lebih jauh, nyata saling berkaitan. Kalau anak bekerja
maka kesempatannya untuk bersekolah, atau setidaknya kesempatannya untuk bisa
mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik, menjadi menurun. Sebaliknya, jika
anak putus sekolah, maka masalah penggunaan waktu luang menjadi mengedepan; dan
bagi anak pada khususnya yang berasal dari keluarga miskin, tekanan kebutuhan
ekonomi keluarga akibat krisis akan mendorongnya ke posisi aktif secara
ekonomi.
Pandangan
terhadap Anak yang Tidak Bersekolah dan Anak yang Bekerja
Dewasa ini, kecuali pada beberapa masyarakat dan kebudayaan
tertentu, jika dinyatakan: “Banyak anak yang putus sekolah atau beresiko putus
sekolah”, maka pernyataan itu bagi kebanyakan orang dianggap mengusik,
setidaknya secara moral. Dewasa ini, masyarakat umum cenderung beranggapan
bahwa sekolah (lebih tepatnya: pendidikan) merupakan sesuatu yang perlu bagi
anak-anak. Begitu pula halnya dengan para pemuka masyarakat, tokoh agama, para
pakar, politisi dan media massa secara umum, mereka semua cenderung beranggapan
bahwa sekolah bagi anak-anak merupakan sesuatu yang niscaya, tidak bisa tidak
dan tidak perlu ada pertanyaan lagi mengenai hal itu. Terlepas dari apakah
opini publik di kalangan masyarakat kebanyakan dipengaruhi dan dibentuk oleh
pandangan dari kalangan pemuka, pakar, para politisi dan media massa; atau
sebaliknya, opini publiklah yang mengarahkan sentimen para politisi, pemuka
serta media-massa agar berpihak kepada opini umum; yang pasti pandangan umum
mengenai perlunya pendidikan bagi anak-anak, baik pada masa krisis dan apalagi
pada masa normal, telah menjadi suatu opini yang solid, tidak perlu
dipertanyakan dan hampir tidak bisa digugat.
Agak berbeda halnya dengan anak yang bekerja. Di kalangan
masyarakat termasuk para orangtua, masih sering muncul pertanyaan: “Apa
salahnya jika anak bekerja? Bukankah anak yang bekerja, terutama yang membantu
menambah penghasilan orangtuanya, adalah sesuatu yang baik?” Pada masa sebelum
krisis-pun banyak diantara kalangan masyarakat, politisi, para pakar maupun
sebagian aktifis LSM. yang berpandangan seperti itu. Dan setelah krisis ekonomi
melanda, pandangan demikian seolah memperoleh pembenaran baru. Tentu saja ada
pula yang berpendapat bahwa bekerja bukanlah suatu hal yang baik untuk anak,
dan bahwa anak seharusnya tidak boleh dipekerjakan.
Untuk memahami silang pandangan menyangkut anak yang bekerja,
mungkin kita perlu melihat bagaimana pandangan masyarakat berkembang dan
berubah selang kurun waktu tertentu. Anak yang tidak bersekolah misalnya,
walaupun pada masa sekarang dianggap sebagai suatu penyimpangan, namun pada dua
atau tiga generasi yang lampau hal itu kiranya merupakan fenomena yang lumrah
belaka. Pada masa itu, tak ada sedikitpun hal yang ganjil dengan anak yang
tidak bersekolah. Jadi, dalam kurun dua atau tiga generasi terakhir, sebenarnya
telah terjadi perubahan dalam persepsi masyarakat mengenai perlunya pendidikan
bagi anak.
Hatta, dikemukakan oleh B. Rwezaura bahwa pandangan masyarakat
terhadap anak sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, politik, sosial
dan budaya; dan bahwa oleh karena faktor-faktor ekonomi, politik, sosial dan
budaya senantiasa berkembang sebagai suatu dinamik, maka pandangan masyarakat
terhadap anak juga merupakan suatu dinamik, tidak mandek dan tidak absolut. Di
Inggris misalnya, perkembangan ekonomi, sosial dan politik yang terjadi sesudah
masa revolusi industri membuat pandangan masyarakat mengenai arti pentingnya
pendidikan bagi anak memperoleh momentum yang kemudian diikuti dengan ketentuan
resmi Negara mengenai wajib belajar.
Menggunakan kasus perubahan pandangan masyarakat mengenai arti
pendidikan bagi anak seperti disampaikan terdahulu sebagai pijakan analisis
untuk memahami persepsi masyarakat terhadap anak yang bekerja, maka kita dapat
menduga bahwa bukannya tidak mungkin jika kelak, satu atau dua generasi
mendatang, keberadaan anak yang bekerja akan mengusik setiap orang, setidaknya
secara moral: bahwa keberadaan anak yang bekerja adalah suatu aib yang tidak
bisa ditolerir.
Penetapan
Standar dan Perubahan Pandangan Masyarakat
Selain karena perubahan dan/atau perkembangan faktor-faktor
ekonomi, sosial, politik dan budaya, perubahan pandangan masyarakat juga bisa
disebabkan oleh nilai atau aturan tertentu. Misalnya, pada jaman jahiliah,
anak-anak perempuan dianggap sebagai aib dan boleh dibunuh. Namun setelah Nabi
Muhammad SAW memperkenalkan nilai dan aturan baru, maka terjadi perubahan pada
pandangan terhadap anak perempuan.
Tadi telah disinggung tentang kaitan antara perkembangan
revolusi industri dengan berubahnya pandangan masyarakat mengenai arti
pentingnya pendidikan bagi anak serta keputusan untuk mengintroduksikan sistim
wajib belajar melalui aturan/legislasi di Inggris. Dengan pemberlakuan aturan
mengenai wajib belajar, maka secara teknis setiap anak harus memperoleh
pendidikan (biasanya pendidikan dasar) selama periode tertentu misalnya enam
atau sembilan tahun.
Pengenalan suatu nilai baru dan pemberlakuan aturan yang sesuai
merupakan suatu langkah yang akan membawa dampak tidak saja secara moral namun
juga secara yuridis. Nilai yang baru membuat orang menjadi merasa bersalah
apabila melakukan penyimpangan. Pemberlakuan aturan yang mengikat akan membawa sanksi
bagi setiap pelanggaran. Melalui pemberlakuan aturan, maka wajib belajar (dalam
contoh ini di Inggris) mempunyai kekuatan hukum. Ia beranjak dari sekedar
himbauan moral atau pernyataan politik yang “tidak bergigi”, menjadi suatu
standar yang bisa diadili (justiciable). Langkah pengenalan nilai dan aturan
seperti itu biasa disebut sebagai “penetapan standar” (standard setting).
Dengan standar yang ditetapkan melalui aturan yang berkekuatan
hukum, maka penegakan (enforcement) bisa dijalankan. Orangtua yang gagal
mengirimkan anaknya ke sekolah, bisa dikenai sanksi tertentu. Penegakan yang
konsekuen dan konsisten, pada gilirannya akan membuat masyarakat, terpaksa
ataupun sukarela, mematuhi ketentuan yang ada. Demikianlah maka setelah satu
generasi kemudian, semua anak praktis sudah akan memperoleh pendidikan dasar
yang diwajibkan. Lalu pada generasi berikutnya, membiarkan anak tidak
bersekolah akan dianggap bukan saja sebagai suatu pelanggaran hukum namun juga
sebagai penyimpangan sosial dan moral. Jadi penegakan hukum pada gilirannya
akan memperkuat nilai yang diberlakukan. Opini masyarakat akan menjadi semakin
solid dan orang tidak lagi menganggap perlu ada pertanyaan mengenai keniscayaan
pendidikan bagi anak.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penetapan standar melalui
aturan yang berkekuatan hukum, jika diikuti dengan penegakan secara konsekuen,
pada gilirannya akan membawa perubahan pada persepsi dan perilaku sosial.
Dengan kata lain, penetapan standar bisa membawa perubahan terhadap perilaku
dan pandangan masyarakat.
Konsep
Hak Anak dan Perkembangannya
Pandangan masyarakat mengenai apa yang perlu bagi anak,
membentuk konsep mengenai hak anak. Misalnya, jika dianggap bahwa anak
memerlukan pendidikan, maka pandangan ini membentuk konsep mengenai hak anak
atas pendidikan. Begitu pula jika dipandang bahwa anak perlu dilindungi dari
penghisapan (eksploitasi) ekonomi, maka pandangan seperti ini akan membentuk
konsep mengenai hak anak untuk dilindungi dari berbagai pekerjaan yang
berdampak buruk bagi perkembangan, kesehatan dan moral anak, atau yang
membahayakan keselamatannya.
Dimuka telah diuraikan bahwa pandangan masyarakat terhadap anak
dipengaruhi oleh berbagai faktor dan bisa berubah dari waktu ke waktu.
Demikianlah maka konsep mengenai hak anak juga mengalami perubahan dan
perkembangan.
Syahdan, pada jaman dahulu anak tidak dianggap sebagai subyek,
melainkan hanya sebagai obyek milik orangtua semata. Oleh karena itu masyarakat
pada jaman itu mentolerir dan menganggap biasa jika orangtua menjual, menganiaya,
ataupun membunuh anaknya. Anak tidak lebih statusnya daripada seorang budak.
Dan konon yang paling menderita adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan
yang sah.
Pada awal kelahiran Negara Kebangsaan moderen seperti yang kita
kenal saat ini, dimana mulai diperkenalkan adanya sistim hukum nasional yang
tunggal, sistim hukum nasional juga masih belum mengakui anak sebagai suatu
subyek hukum yang mandiri. Bahkan di Perancis, yang notabene merupakan tempat
kelahiran Negara Kebangsaan moderen, baru pada tahun 1945 atau sekitar
satu-setengah abad setelah Perancis memperkenalkan Negara Kebangsaan, hukum
perdatanya yang memberikan kewenangan penuh kepada ayah untuk memenjarakan
anaknya (dibawah 21 tahun) mulai direvisi.
Kita ketahui pula, bahwa hingga saat inipun kewenangan publik
untuk melakukan intervensi dan melindungi anak yang dianiaya (abuse) oleh
orangtuanya di Indonesia masih belum tegas diatur dalam KUHP maupun didalam
perundangan nasional lainnya. Dengan kata lain, belum ada penetapan standar
yang berkekuatan hukum yang pasti untuk memberikan ganjaran pidana bagi
orangtua yang menganiaya anak, atau untuk mencabut hak perwalian orangtua atas
anak — setidaknya didalam enforcementnya.
Penetapan
Standar Internasional dibidang Hak Anak
Penetapan standar bisa dilakukan di tingkat nasional dalam
wilayah suatu negara. Namun bisa juga dilakukan ditingkat internasional
melibatkan beberapa atau semua negara di dunia.
Dalam konteks ini, penetapan standar pertama di bidang hak anak
dilakukan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO). Segera setelah
pendiriannya pada tahun 1919, ILO membuat Konvensi yang menetapkan batas usia
minimum bagi anak untuk dipekerjakan. Konvensi ILO tersebut, karena mandat
organisasi yang memang terbatas di bidang perburuhan, cakupannya juga terbatas
hanya pada hak anak atas “perlindungan dari eksploitasi ekonomi”.
Republik Indonesia memang belum diprokamasikan pada waktu itu.
Namun sebagai jajahan Belanda, hukum Belanda diberlakukan di Indonesia pada
masa itu. Dalam kaitan ini, cukup menarik untuk berspekulasi tentang kaitan
antara Konvensi ILO tahun 1919 dengan Staatsblad (Lembaran Negara pada jaman
pemerintahan kolonial Belanda) tahun 1925 yang menetapkan batas umur minimum
tertentu sebelum anak boleh dipekerjakan yang diberlakukan di Indonesia, dan
yang belum dicabut hingga saat ini.
Lima tahun setelah Konvensi ILO 1919 tersebut, yakni pada tahun
1924, organisasi internasional yang ada pada waktu itu, Liga Bangsa Bangsa,
mencanangkan Deklarasi Hak Anak. Berbeda dengan Konvensi ILO, Deklarasi ini
menetapkan standar-standar internasional mengenai apa yang dianggap sebagai hak
anak dengan cakupan yang lebih luas dari sekedar “melindungi anak dari
eksploitasi ekonomi”, namun juga masih cukup terbatas sesuai perkembangan pada
masa itu.
Pada tahun 1948, beberapa waktu setelah Liga Bangsa Bangsa
bubar, organisasi internasional yang baru, Perserikatan Bangsa Bangsa,
mencanangkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. (Patut kita catat bahwa
pada tahun 1948 negara Republik Indonesia sudah lahir). Dalam Deklarasi
tersebut dinyatakan bahwa anak mempunyai hak untuk dilindungi. Selanjutnya pada
tahun 1959, PBB seolah menegaskan apa yang telah dilakukan oleh Liga Bangsa
Bangsa, kembali mencanangkan Deklarasi Hak Anak. Deklarasi ini merupakan
deklarasi internasional kedua dan tentu saja cakupannya menjadi agak lebih luas
jika dibandingkan dengan Deklarasi pertama oleh Liga Bangsa Bangsa yang
dicanangkan tahun 1924.
Berbeda dengan Konvensi, Deklarasi merupakan suatu penetapan
standar yang hanya mengikat secara moral namun tidak mengikat secara yuridis.
Jadi, Deklarasi Internasional tentang Hak Anak, baik yang pertama (1924) maupun
yang kedua (1959) tidak mengikat secara hukum.
Pada tahun 1989, Majelis Umum PBB menerima dengan suara bulat
naskah akhir Konvensi Hak Anak, yang kemudian berlaku sebagai hukum
internasional pada tahun berikutnya, 1990.
Banyak perkembangan menyangkut konsep mengenai hak anak yang
terjadi sejak dicanangkannya Deklarasi Hak Anak II (1959) hingga disetujuinya
naskah Konvensi Hak Anak oleh Majelis Umum PBB (1989). Beberapa perkembangan
yang bisa disebutkan antara lain ialah diberlakukannya Kovenan Internasional
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta Kovenan Internasional Hak Sipil dan
Politik (1976). Didalam kedua instrumen internasional tersebut konsep mengenai
hak anak mengalami perkembangan cukup pesat. Tambahan lagi, selama kurun
tersebut masih ada banyak instrumen internasional lain menyangkut hak asasi
manusia, yang langsung maupun tidak langsung membawa dampak pula bagi
perkembangan konsep tentang hak anak. Singkatnya, Konsep tentang hak anak yang
tercakup dalam Konvensi Hak Anak jauh lebih luas dibandingkan dengan yang
tercakup dalam Deklarasi Hak Anak yang dicanangkan pada periode sebelumnya.
Isi
Konvensi Hak Anak
Demikian luasnya cakupan hak anak yang terdapat dalam Konvensi
Hak Anak, sehingga untuk bisa mengingatnya dengan lebih mudah, dibuat
pengelompokan tertentu. Salah satu cara pengelompokan yang populer ialah dengan
membagi hak anak menjadi empat kategori, yakni hak hidup dan kelangsungan
hidup, hak atas perlindungan, hak untuk berkembang, dan hak untuk berpartisipasi.
Namun demikian, pengelompokan “resmi” yang dibuat oleh Komite
Hak Anak (yakni badan yang dibentuk untuk mengevaluasi pelaksanaan Konvensi di
setiap Negara) membagi Konvensi Hak Anak menjadi delapan kategori, sebagai
berikut:
1. Langkah-langkah Implementasi Umum
2. Definisi Anak
3. Prinsip-prinsip Umum
4. Hak dan Kemerdekaan Sipil
5. Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Pengganti
6. Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar
7. Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya
8. Perlindungan Khusus
1. Langkah-langkah Implementasi Umum
2. Definisi Anak
3. Prinsip-prinsip Umum
4. Hak dan Kemerdekaan Sipil
5. Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Pengganti
6. Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar
7. Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya
8. Perlindungan Khusus
Dari delapan kategori tersebut, kelompok yang secara substantif
berisi kandungan konsep hak anak adalah kategori ke 4-8. Secara garis besar,
kandungan hak anak dalam setiap kategori adalah sebagai berikut:
Hak dan Kemerdekaan Sipil: Terdiri atas Pasal-pasal 7, 8, 13,
14, 15, 16, 17 dan 37(a). Merupakan penegasan bahwa anak adalah subyek hukum
yang mempunyai hak-hak dan kemerdekaan sipil sebagaimana layaknya orang dewasa.
Sebagian terbesar dari ketentuan dalam kategori ini diturunkan dari “hak sipil
dan politik” yang berlaku bagi orang dewasa. Misalnya, anak berhak untuk
mempunyai nama dan kewarganegaraan, anak berhak atas kebebasan mengemukakan
pendapat, dan berhak untuk bebas dari perlakuan semena-mena.
Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Pengganti: Terdiri atas
Pasal-pasal 5, 18 ayat 1-2, 9, 10, 11, 19, 20, 21, 25, 27 ayat 4 dan 39.
Mengatur hubungan anak dengan orangtua/ keluarganya, baik hubungan ekonomi-sosial-budaya maupun hubungan sipil dan hubungan hukum. Misalnya hak anak mendapatkan jaminan nafkah dari orangtua terutama jika orangtua tinggal di negara lain, untuk mengetahui dan diasuh oleh kedua orangtuanya sendiri, hak anak jika orangtuanya berpisah, hak anak jika ia diangkat/ diadopsi oleh keluarga lain, dan sebagainya. Perlu diketahui, bahwa berhubung anak, baik secara ekonomi-sosial-budaya maupun secara sipil dan yuridis sangat bergantung kepada orangtua atau orang dewasa lain yang memegang hak asuh atas anak, maka aturan menyangkut kategori ini sangat luas dan cukup kompleks.
Mengatur hubungan anak dengan orangtua/ keluarganya, baik hubungan ekonomi-sosial-budaya maupun hubungan sipil dan hubungan hukum. Misalnya hak anak mendapatkan jaminan nafkah dari orangtua terutama jika orangtua tinggal di negara lain, untuk mengetahui dan diasuh oleh kedua orangtuanya sendiri, hak anak jika orangtuanya berpisah, hak anak jika ia diangkat/ diadopsi oleh keluarga lain, dan sebagainya. Perlu diketahui, bahwa berhubung anak, baik secara ekonomi-sosial-budaya maupun secara sipil dan yuridis sangat bergantung kepada orangtua atau orang dewasa lain yang memegang hak asuh atas anak, maka aturan menyangkut kategori ini sangat luas dan cukup kompleks.
Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar: Terdiri atas Pasal-pasal 6,
18 ayat 3, 23, 24, 26 dan 27 ayat 1-3.
Memberikan kepada anak-anak hak atas standar kesehatan dan kesejahteraan. Misalnya, hak atas untuk memperoleh jaminan kesehatan dan jaminan sosial. Hak-hak ini diturunkan dari “hak ekonomi-sosial-budaya” yang berlaku bagi orang dewasa.
Memberikan kepada anak-anak hak atas standar kesehatan dan kesejahteraan. Misalnya, hak atas untuk memperoleh jaminan kesehatan dan jaminan sosial. Hak-hak ini diturunkan dari “hak ekonomi-sosial-budaya” yang berlaku bagi orang dewasa.
Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya: Terdiri atas
Pasal-pasal 28, 29 dan 31.
Sebagaimana kategori sebelumnya, hak-hak di sini pada umumnya juga diturunkan dari hak-hak ekonomi-sosial-budaya yang berlaku bagi orang dewasa. Misalnya hak atas pendidikan dasar secara gratis.
Sebagaimana kategori sebelumnya, hak-hak di sini pada umumnya juga diturunkan dari hak-hak ekonomi-sosial-budaya yang berlaku bagi orang dewasa. Misalnya hak atas pendidikan dasar secara gratis.
Perlindungan Khusus: Terdiri atas Pasal-pasal 22, 38, 39, 40, 37
(b)-(d), 32, 33, 34, 35 dan 36.
Kategori ini dibagi lagi menjadi empat sub-kategori, yakni: (A) Perlindungan bagi anak dalam situasi konflik bersenjata dan yang menjadi atau mencari status pengungsi; (B) Perlindungan bagi anak yang melakukan pelanggaran hukum; (C) Perlindungan bagi anak dari eksploitasi ekonomi, penyalah-gunaan obat dan narkotika, eksploitasi seksual, penjualan dan perdagangan, atau dari bentuk-bentuk eksploitasi lainnya; dan (D) Perlindungan bagi anak-anak dari kelompok minoritas serta kelompok masyarakat adat (indigenous). Kategori ini bersifat khas hak anak dan sangat kompleks. Kategori ini meliputi baik hak-hak ekonomi-sosial-budaya maupun hak-hak sipil-politik.
Kategori ini dibagi lagi menjadi empat sub-kategori, yakni: (A) Perlindungan bagi anak dalam situasi konflik bersenjata dan yang menjadi atau mencari status pengungsi; (B) Perlindungan bagi anak yang melakukan pelanggaran hukum; (C) Perlindungan bagi anak dari eksploitasi ekonomi, penyalah-gunaan obat dan narkotika, eksploitasi seksual, penjualan dan perdagangan, atau dari bentuk-bentuk eksploitasi lainnya; dan (D) Perlindungan bagi anak-anak dari kelompok minoritas serta kelompok masyarakat adat (indigenous). Kategori ini bersifat khas hak anak dan sangat kompleks. Kategori ini meliputi baik hak-hak ekonomi-sosial-budaya maupun hak-hak sipil-politik.
Bagi pembaca yang mempunyai minat untuk mempelajari secara lebih
mendalam mengenai rincian lebih lanjut dari kandungan substantif hak-hak anak
tersebut, disarankan untuk membaca Konvensi Hak Anak.
Konvensi Hak Anak, karena sifat yang cakupannya, membawa
pandangan baru yang radikal terhadap anak sebagai manusia dan sekaligus subyek
hukum. Jika standar-standar dalam KHA ditegakkan secara konsisten dan
konsekuen, hanya dalam satu generasi ia akan membawa dampak yang cukup berarti
bagi pandangan dan praktek sosial masyarakat, tidak saja terhadap anak-anak
namun juga terhadap sesama manusia lainnya.
Implementasi
Konvensi Hak Anak
Di atas tadi telah didiskusikan secara ringkas bagaimana
faktor-faktor ekonomi, sosial, politik dan budaya mempengaruhi pandangan
masyarakat terhadap anak; dan bagaimana hubungannya dengan perkembangan konsep
hak anak. Juga bagaimana penetapan standar yang mengikat secara yuridis dan
penegakannya membawa pengaruh pada persepsi dan praktek sosial (dalam hal ini
menyangkut hak anak).
Berdasarkan sifatnya, hukum internasional termasuk hukum
internasional dibidang HAM (KHA adalah bagian integral dari hukum internasional
dibidang HAM), bersifat mengikat terhadap Negara; bukannya mengikat individu
maupun badan-badan hukum swasta.
Penegakan hukum internasional dibidang HAM, agar bersifat
mengikat terhadap individu dan badan-badan swasta, harus dilakukan dengan
mentransformasikan hukum internasional bersangkutan kedalam ketentuan-ketentuan
didalam hukum nasional suatu Negara. Inilah yang disebut sebagai implementasi
atau aplikasi domestik dari hukum HAM internasional. (Perlu diingat bahwa hanya
instrumen internasional yang bersifat mengikat secara yuridis-lah — seperti
Konvensi Hak Anak — yang mempunyai kekuatan paksa agar diimplementasikan di
tingkat nasional).
Dalam kaitan ini, karena Republik Indonesia sudah ikut
menyetujui (meratifikasi) KHA, maka Indonesia terikat pada kewajiban yuridis
untuk mengimplementasikan KHA didalam wilayah hukum nasional Indonesia.
Dalam wacana HAM, ada tiga kewajiban dasar yang dikenal sebagai
kewajiban generik (generic obligations). Kewajiban-kewajiban lain pada umumnya
merupakan turuna atau derivat dari ketiga kewajiban generik tersebut. Tiga
kewajiban generik dimaksud ialah:
• Kewajiban untuk menghormati (respect),
• Kewajiban untuk melindungi (protect), dan
• Kewajiban untuk memenuhi (fulfill).
• Kewajiban untuk menghormati (respect),
• Kewajiban untuk melindungi (protect), dan
• Kewajiban untuk memenuhi (fulfill).
Kewajiban untuk menghormati mengharuskan Negara untuk tidak
melanggar ketentuan-ketentuan yang ada dalam Konvensi. Kewajiban ini relatif
mudah dan murah, karena hanya mengehendaki abstensi: sudah cukup terlaksana
sejauh Negara, perangkat dan aparatnya, tidak melakukan pelanggaran. Misalnya,
polisi tidak melakukan penangkapan dan pehananan sewenang-wenang, atau
penyiksaan, terhadap anak yang dicurigai telah melakukan pencurian. Kiranya
tidak perlu penjelasan panjang lebar, tidak melakukan penangkapan dan penahanan
sewenang-wenang dan tidak menyiksa anak yang dituduh mencuri, sama sekali
merupakan perkara mudah dan tidak membutuhkan biaya sepeserpun.
Kewajiban untuk melindungi mengharuskan Negara untuk memberikan
perlindungan agar anak tidak dilanggar haknya oleh orang atau individu lain
(termasuk orangtua anak sendiri), dan memberikan sanksi (biasanya sanksi
pidana) bagi setiap pelanggaran Perlindungan dimaksud biasanya diwujudkan
dengan membuat aturan hukum di tingkat nasional, atau menyesuaikan aturan hukum
nasional yang ada agar sesuai dengan standar serta ketentuan yang terdapat
dalam Konvensi. Upaya untuk memberi perlindungan agar tidak terjadi pelanggaran
oleh pelaku-pelaku non-Negara seperti ini dikenal juga sebagai “efek horizontal
dari hukum HAM internasional” (horizontal effect of international human rights
law). Misalnya, Negara membuat aturan baru atau menyesuaikan aturan yang ada
guna melarang dilakukannya tindakan main hakim sendiri oleh siapapun (termasuk
oleh satpam) terhadap seorang anak yang dituduh atau diketahui mencuri; dan
memberikan sanksi terhadap satpam yang telah melakukan tindakan main hakim
sendiri tersebut.
Kewajiban untuk memenuhi mengharuskan Negara untuk memberikan
apa-apa yang diakui sebagai hak dalam ketentuan Konvensi yang ada. Misalnya,
jika ditentukan bahwa setiap anak yang dituduh telah melanggar hukum pidana
(mencuri) berhak untuk didampingi oleh seorang pengacara, maka Negara harus
menyediakan pengacara dimaksud. Kewajiban ini dikenal sebagai kewajiban yang
paling sulit untuk dilakukan, antara lain karena implementasinya membutuhkan
biaya yang cukup besar. Dalam contoh kasus tadi, dimana Negara harus
menyediakan pengacara bagi setiap anak yang dituduh mencuri, jelas membutuhkan
biaya (untuk gaji, administrasi kepegawaian, dsb.) yang tidak kecil.
Yang menjadi persoalan bagi kita kemudian ialah: apabila untuk
melaksanakan kewajiban yang mudah dan murah saja tidak bisa dan tidak didorong
dengan kemauan politik yang cukup, bagaimana kita bisa menjalankan kewajiban
yang lebih sulit dan memerlukan membutuhkan biaya banyak?
Kembali kepada contoh kasus diawal tulisan ini: Apabila untuk
mengatur, demi memberikan perlindungan kepada anak dari eksploitasi ekonomi,
batas usia minimum anak boleh dipekerjakan dan menindak siapapun yang telah
mempekerjakan anak secara illegal, Negara tidak bisa dan tidak mempunyai
kemauan politik untuk itu; bagaimana kita bisa diyakinkan bahwa Negara telah
berusaha untuk memenuhi pendidikan dasar yang gratis kepada semua anak
sementara kita tahu bahwa memberikan pendidikan dasar gratis kepada setiap anak
membutuhkan biaya yang jauh lebih besar daripada biaya yang dibutuhkan untuk
menjatuhkan sanksi kepada orang yang mempekerjakan anak-anak?
Bukankah akan lebih masuk akal jika Negara menjatuhkan sanksi
denda kepada siapapun yang mempekerjakan anak dan mengalokasikan denda yang
diperoleh untuk keperluan pendidikan anak?
Pertanyaan dasar yang sepele dan berangkat dari akal sehat
seperti ini, jika ditanggapi secara defensif dengan mengetengahkan
argumen-argumen yang kelihatannya seperti argumen akademis yang canggih dan
muluk-muluk, kiranya hanya akan menjadi debat kusir beretele-tele dan tidak
jelas juntrungannya.
Krisis
Ekonomi dan Implementasi Hak Anak
Logika dasar dicanangkannya hukum internasional dibidang HAM,
ialah agar standar yang ditetapkan bisa diberlakukan di banyak Negara terlepas
dari sistim hukum dan politik maupun sistim ekonomi yang mungkin berbeda
diantara berbagai Negara. Dengan demikian, terlepas dari sistim politik, sistim
hukum maupun sistim ekonomi (apakah sosialis atau pasar bebas, atau setengah
sosialis setengah pasar bebas) KHA tetap harus diimplementasikan di
Negara-Negara yang sudah mengikatkan diri secara sukarela terhadap KHA (seperti
Republik Indonesia, contohnya).
Bagaimana jika Negara mengalami krisis ekonomi yang dahsyat
sehingga menjadi sulit bagi Negara untuk mencegah agar anak-anak tidak putus
sekolah dan bekerja membantu keuangan keluarga?
Topik ini mungkin bisa memicu perbedaan pendapat dan debat kusir
mengenai apakah Negara tetap berkewajiban mengimplementasikan hak anak secara
penuh atau ia bisa mendapat masa istirahat sejenak dari kewajibannya.
Yang jelas, logika kewajiban Negara berdasarkan hukum
internasional merupakan suatu kepastian hukum. Lagipula, bukantah justru dimasa
krisis itulah anak-anak lebih membutuhkan perlindungan Negara…
————————————————
Daftar Pustaka:
1. Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur dan UNICEF, TOR
Lokakarya & Pelatihan bagi CBO, LSM Lokal dan Ponpes tentang Pekerja Anak
di Sektor Berbahaya dan Siswa Rawan DO: Masalah dan Upaya Penanganannya,
diselenggarakan di Malang 25-27 Mei 2000.
2. Ian Brownlie (ed.), Basic Documents on Human Rights (third edition), Oxford University Press, 1992.
3. International Human Rights Internship Program (IHRIP), panduan belum diberi judul dan belum dipublikasikan mengenai Training Manual on ESC Rights Activism.
4. Ravindran DJ, A Resource Book for Human Rights Study Sessions (karya tidak dipublikasikan).
5. Save the Children, UN Convention on the Rights of the Child: An International Save the Children Alliance Training Kit, 1997
6. UNICEF, Implementation Handbook for the Convention on the Rights of the Child, UNICEF, 1998
2. Ian Brownlie (ed.), Basic Documents on Human Rights (third edition), Oxford University Press, 1992.
3. International Human Rights Internship Program (IHRIP), panduan belum diberi judul dan belum dipublikasikan mengenai Training Manual on ESC Rights Activism.
4. Ravindran DJ, A Resource Book for Human Rights Study Sessions (karya tidak dipublikasikan).
5. Save the Children, UN Convention on the Rights of the Child: An International Save the Children Alliance Training Kit, 1997
6. UNICEF, Implementation Handbook for the Convention on the Rights of the Child, UNICEF, 1998