Powered by Blogger.
RSS

Krisis Ekonomi Sebagai Kasus
Di Indonesia, sebelum krisis ekonomi terjadi, sekian juta anak, berumur antara 10-14 tahun, dinyatakan oleh statistik resmi sebagai pekerja anak. Setelah krisis berlangsung selama lebih dari dua tahun, jumlah anak yang bekerja ditengarai meningkat. Banyak anak yang semula hanya bersekolah dan tidak bekerja kini menggunakan sebagian waktunya untuk bekerja. Banyak pula anak yang semula bekerja sembari bersekolah kini putus sekolah dan menjadi pekerja penuh waktu. Begitu pula, anak yang bekerja lebih dari 25 jam/minggu jumlahnya menjadi lebih banyak.
Krisis ekonomi membuat semakin banyak anak yang bekerja. Krisis juga membuat banyak anak menjadi rawan putus sekolah. Dalam contoh kasus diatas, disoroti secara khusus dua dampak krisis ini. Kedua dampak tersebut, tidak perlu penjelasan lebih jauh, nyata saling berkaitan. Kalau anak bekerja maka kesempatannya untuk bersekolah, atau setidaknya kesempatannya untuk bisa mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik, menjadi menurun. Sebaliknya, jika anak putus sekolah, maka masalah penggunaan waktu luang menjadi mengedepan; dan bagi anak pada khususnya yang berasal dari keluarga miskin, tekanan kebutuhan ekonomi keluarga akibat krisis akan mendorongnya ke posisi aktif secara ekonomi.
Pandangan terhadap Anak yang Tidak Bersekolah dan Anak yang Bekerja
Dewasa ini, kecuali pada beberapa masyarakat dan kebudayaan tertentu, jika dinyatakan: “Banyak anak yang putus sekolah atau beresiko putus sekolah”, maka pernyataan itu bagi kebanyakan orang dianggap mengusik, setidaknya secara moral. Dewasa ini, masyarakat umum cenderung beranggapan bahwa sekolah (lebih tepatnya: pendidikan) merupakan sesuatu yang perlu bagi anak-anak. Begitu pula halnya dengan para pemuka masyarakat, tokoh agama, para pakar, politisi dan media massa secara umum, mereka semua cenderung beranggapan bahwa sekolah bagi anak-anak merupakan sesuatu yang niscaya, tidak bisa tidak dan tidak perlu ada pertanyaan lagi mengenai hal itu. Terlepas dari apakah opini publik di kalangan masyarakat kebanyakan dipengaruhi dan dibentuk oleh pandangan dari kalangan pemuka, pakar, para politisi dan media massa; atau sebaliknya, opini publiklah yang mengarahkan sentimen para politisi, pemuka serta media-massa agar berpihak kepada opini umum; yang pasti pandangan umum mengenai perlunya pendidikan bagi anak-anak, baik pada masa krisis dan apalagi pada masa normal, telah menjadi suatu opini yang solid, tidak perlu dipertanyakan dan hampir tidak bisa digugat.
Agak berbeda halnya dengan anak yang bekerja. Di kalangan masyarakat termasuk para orangtua, masih sering muncul pertanyaan: “Apa salahnya jika anak bekerja? Bukankah anak yang bekerja, terutama yang membantu menambah penghasilan orangtuanya, adalah sesuatu yang baik?” Pada masa sebelum krisis-pun banyak diantara kalangan masyarakat, politisi, para pakar maupun sebagian aktifis LSM. yang berpandangan seperti itu. Dan setelah krisis ekonomi melanda, pandangan demikian seolah memperoleh pembenaran baru. Tentu saja ada pula yang berpendapat bahwa bekerja bukanlah suatu hal yang baik untuk anak, dan bahwa anak seharusnya tidak boleh dipekerjakan.
Untuk memahami silang pandangan menyangkut anak yang bekerja, mungkin kita perlu melihat bagaimana pandangan masyarakat berkembang dan berubah selang kurun waktu tertentu. Anak yang tidak bersekolah misalnya, walaupun pada masa sekarang dianggap sebagai suatu penyimpangan, namun pada dua atau tiga generasi yang lampau hal itu kiranya merupakan fenomena yang lumrah belaka. Pada masa itu, tak ada sedikitpun hal yang ganjil dengan anak yang tidak bersekolah. Jadi, dalam kurun dua atau tiga generasi terakhir, sebenarnya telah terjadi perubahan dalam persepsi masyarakat mengenai perlunya pendidikan bagi anak.
Hatta, dikemukakan oleh B. Rwezaura bahwa pandangan masyarakat terhadap anak sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya; dan bahwa oleh karena faktor-faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya senantiasa berkembang sebagai suatu dinamik, maka pandangan masyarakat terhadap anak juga merupakan suatu dinamik, tidak mandek dan tidak absolut. Di Inggris misalnya, perkembangan ekonomi, sosial dan politik yang terjadi sesudah masa revolusi industri membuat pandangan masyarakat mengenai arti pentingnya pendidikan bagi anak memperoleh momentum yang kemudian diikuti dengan ketentuan resmi Negara mengenai wajib belajar.
Menggunakan kasus perubahan pandangan masyarakat mengenai arti pendidikan bagi anak seperti disampaikan terdahulu sebagai pijakan analisis untuk memahami persepsi masyarakat terhadap anak yang bekerja, maka kita dapat menduga bahwa bukannya tidak mungkin jika kelak, satu atau dua generasi mendatang, keberadaan anak yang bekerja akan mengusik setiap orang, setidaknya secara moral: bahwa keberadaan anak yang bekerja adalah suatu aib yang tidak bisa ditolerir.
Penetapan Standar dan Perubahan Pandangan Masyarakat
Selain karena perubahan dan/atau perkembangan faktor-faktor ekonomi, sosial, politik dan budaya, perubahan pandangan masyarakat juga bisa disebabkan oleh nilai atau aturan tertentu. Misalnya, pada jaman jahiliah, anak-anak perempuan dianggap sebagai aib dan boleh dibunuh. Namun setelah Nabi Muhammad SAW memperkenalkan nilai dan aturan baru, maka terjadi perubahan pada pandangan terhadap anak perempuan.
Tadi telah disinggung tentang kaitan antara perkembangan revolusi industri dengan berubahnya pandangan masyarakat mengenai arti pentingnya pendidikan bagi anak serta keputusan untuk mengintroduksikan sistim wajib belajar melalui aturan/legislasi di Inggris. Dengan pemberlakuan aturan mengenai wajib belajar, maka secara teknis setiap anak harus memperoleh pendidikan (biasanya pendidikan dasar) selama periode tertentu misalnya enam atau sembilan tahun.
Pengenalan suatu nilai baru dan pemberlakuan aturan yang sesuai merupakan suatu langkah yang akan membawa dampak tidak saja secara moral namun juga secara yuridis. Nilai yang baru membuat orang menjadi merasa bersalah apabila melakukan penyimpangan. Pemberlakuan aturan yang mengikat akan membawa sanksi bagi setiap pelanggaran. Melalui pemberlakuan aturan, maka wajib belajar (dalam contoh ini di Inggris) mempunyai kekuatan hukum. Ia beranjak dari sekedar himbauan moral atau pernyataan politik yang “tidak bergigi”, menjadi suatu standar yang bisa diadili (justiciable). Langkah pengenalan nilai dan aturan seperti itu biasa disebut sebagai “penetapan standar” (standard setting).
Dengan standar yang ditetapkan melalui aturan yang berkekuatan hukum, maka penegakan (enforcement) bisa dijalankan. Orangtua yang gagal mengirimkan anaknya ke sekolah, bisa dikenai sanksi tertentu. Penegakan yang konsekuen dan konsisten, pada gilirannya akan membuat masyarakat, terpaksa ataupun sukarela, mematuhi ketentuan yang ada. Demikianlah maka setelah satu generasi kemudian, semua anak praktis sudah akan memperoleh pendidikan dasar yang diwajibkan. Lalu pada generasi berikutnya, membiarkan anak tidak bersekolah akan dianggap bukan saja sebagai suatu pelanggaran hukum namun juga sebagai penyimpangan sosial dan moral. Jadi penegakan hukum pada gilirannya akan memperkuat nilai yang diberlakukan. Opini masyarakat akan menjadi semakin solid dan orang tidak lagi menganggap perlu ada pertanyaan mengenai keniscayaan pendidikan bagi anak.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penetapan standar melalui aturan yang berkekuatan hukum, jika diikuti dengan penegakan secara konsekuen, pada gilirannya akan membawa perubahan pada persepsi dan perilaku sosial. Dengan kata lain, penetapan standar bisa membawa perubahan terhadap perilaku dan pandangan masyarakat.
Konsep Hak Anak dan Perkembangannya
Pandangan masyarakat mengenai apa yang perlu bagi anak, membentuk konsep mengenai hak anak. Misalnya, jika dianggap bahwa anak memerlukan pendidikan, maka pandangan ini membentuk konsep mengenai hak anak atas pendidikan. Begitu pula jika dipandang bahwa anak perlu dilindungi dari penghisapan (eksploitasi) ekonomi, maka pandangan seperti ini akan membentuk konsep mengenai hak anak untuk dilindungi dari berbagai pekerjaan yang berdampak buruk bagi perkembangan, kesehatan dan moral anak, atau yang membahayakan keselamatannya.
Dimuka telah diuraikan bahwa pandangan masyarakat terhadap anak dipengaruhi oleh berbagai faktor dan bisa berubah dari waktu ke waktu. Demikianlah maka konsep mengenai hak anak juga mengalami perubahan dan perkembangan.
Syahdan, pada jaman dahulu anak tidak dianggap sebagai subyek, melainkan hanya sebagai obyek milik orangtua semata. Oleh karena itu masyarakat pada jaman itu mentolerir dan menganggap biasa jika orangtua menjual, menganiaya, ataupun membunuh anaknya. Anak tidak lebih statusnya daripada seorang budak. Dan konon yang paling menderita adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah.
Pada awal kelahiran Negara Kebangsaan moderen seperti yang kita kenal saat ini, dimana mulai diperkenalkan adanya sistim hukum nasional yang tunggal, sistim hukum nasional juga masih belum mengakui anak sebagai suatu subyek hukum yang mandiri. Bahkan di Perancis, yang notabene merupakan tempat kelahiran Negara Kebangsaan moderen, baru pada tahun 1945 atau sekitar satu-setengah abad setelah Perancis memperkenalkan Negara Kebangsaan, hukum perdatanya yang memberikan kewenangan penuh kepada ayah untuk memenjarakan anaknya (dibawah 21 tahun) mulai direvisi.
Kita ketahui pula, bahwa hingga saat inipun kewenangan publik untuk melakukan intervensi dan melindungi anak yang dianiaya (abuse) oleh orangtuanya di Indonesia masih belum tegas diatur dalam KUHP maupun didalam perundangan nasional lainnya. Dengan kata lain, belum ada penetapan standar yang berkekuatan hukum yang pasti untuk memberikan ganjaran pidana bagi orangtua yang menganiaya anak, atau untuk mencabut hak perwalian orangtua atas anak — setidaknya didalam enforcementnya.
Penetapan Standar Internasional dibidang Hak Anak
Penetapan standar bisa dilakukan di tingkat nasional dalam wilayah suatu negara. Namun bisa juga dilakukan ditingkat internasional melibatkan beberapa atau semua negara di dunia.
Dalam konteks ini, penetapan standar pertama di bidang hak anak dilakukan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO). Segera setelah pendiriannya pada tahun 1919, ILO membuat Konvensi yang menetapkan batas usia minimum bagi anak untuk dipekerjakan. Konvensi ILO tersebut, karena mandat organisasi yang memang terbatas di bidang perburuhan, cakupannya juga terbatas hanya pada hak anak atas “perlindungan dari eksploitasi ekonomi”.
Republik Indonesia memang belum diprokamasikan pada waktu itu. Namun sebagai jajahan Belanda, hukum Belanda diberlakukan di Indonesia pada masa itu. Dalam kaitan ini, cukup menarik untuk berspekulasi tentang kaitan antara Konvensi ILO tahun 1919 dengan Staatsblad (Lembaran Negara pada jaman pemerintahan kolonial Belanda) tahun 1925 yang menetapkan batas umur minimum tertentu sebelum anak boleh dipekerjakan yang diberlakukan di Indonesia, dan yang belum dicabut hingga saat ini.
Lima tahun setelah Konvensi ILO 1919 tersebut, yakni pada tahun 1924, organisasi internasional yang ada pada waktu itu, Liga Bangsa Bangsa, mencanangkan Deklarasi Hak Anak. Berbeda dengan Konvensi ILO, Deklarasi ini menetapkan standar-standar internasional mengenai apa yang dianggap sebagai hak anak dengan cakupan yang lebih luas dari sekedar “melindungi anak dari eksploitasi ekonomi”, namun juga masih cukup terbatas sesuai perkembangan pada masa itu.
Pada tahun 1948, beberapa waktu setelah Liga Bangsa Bangsa bubar, organisasi internasional yang baru, Perserikatan Bangsa Bangsa, mencanangkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. (Patut kita catat bahwa pada tahun 1948 negara Republik Indonesia sudah lahir). Dalam Deklarasi tersebut dinyatakan bahwa anak mempunyai hak untuk dilindungi. Selanjutnya pada tahun 1959, PBB seolah menegaskan apa yang telah dilakukan oleh Liga Bangsa Bangsa, kembali mencanangkan Deklarasi Hak Anak. Deklarasi ini merupakan deklarasi internasional kedua dan tentu saja cakupannya menjadi agak lebih luas jika dibandingkan dengan Deklarasi pertama oleh Liga Bangsa Bangsa yang dicanangkan tahun 1924.
Berbeda dengan Konvensi, Deklarasi merupakan suatu penetapan standar yang hanya mengikat secara moral namun tidak mengikat secara yuridis. Jadi, Deklarasi Internasional tentang Hak Anak, baik yang pertama (1924) maupun yang kedua (1959) tidak mengikat secara hukum.
Pada tahun 1989, Majelis Umum PBB menerima dengan suara bulat naskah akhir Konvensi Hak Anak, yang kemudian berlaku sebagai hukum internasional pada tahun berikutnya, 1990.
Banyak perkembangan menyangkut konsep mengenai hak anak yang terjadi sejak dicanangkannya Deklarasi Hak Anak II (1959) hingga disetujuinya naskah Konvensi Hak Anak oleh Majelis Umum PBB (1989). Beberapa perkembangan yang bisa disebutkan antara lain ialah diberlakukannya Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (1976). Didalam kedua instrumen internasional tersebut konsep mengenai hak anak mengalami perkembangan cukup pesat. Tambahan lagi, selama kurun tersebut masih ada banyak instrumen internasional lain menyangkut hak asasi manusia, yang langsung maupun tidak langsung membawa dampak pula bagi perkembangan konsep tentang hak anak. Singkatnya, Konsep tentang hak anak yang tercakup dalam Konvensi Hak Anak jauh lebih luas dibandingkan dengan yang tercakup dalam Deklarasi Hak Anak yang dicanangkan pada periode sebelumnya.
Isi Konvensi Hak Anak
Demikian luasnya cakupan hak anak yang terdapat dalam Konvensi Hak Anak, sehingga untuk bisa mengingatnya dengan lebih mudah, dibuat pengelompokan tertentu. Salah satu cara pengelompokan yang populer ialah dengan membagi hak anak menjadi empat kategori, yakni hak hidup dan kelangsungan hidup, hak atas perlindungan, hak untuk berkembang, dan hak untuk berpartisipasi.
Namun demikian, pengelompokan “resmi” yang dibuat oleh Komite Hak Anak (yakni badan yang dibentuk untuk mengevaluasi pelaksanaan Konvensi di setiap Negara) membagi Konvensi Hak Anak menjadi delapan kategori, sebagai berikut:
1. Langkah-langkah Implementasi Umum
2. Definisi Anak
3. Prinsip-prinsip Umum
4. Hak dan Kemerdekaan Sipil
5. Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Pengganti
6. Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar
7. Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya
8. Perlindungan Khusus
Dari delapan kategori tersebut, kelompok yang secara substantif berisi kandungan konsep hak anak adalah kategori ke 4-8. Secara garis besar, kandungan hak anak dalam setiap kategori adalah sebagai berikut:
Hak dan Kemerdekaan Sipil: Terdiri atas Pasal-pasal 7, 8, 13, 14, 15, 16, 17 dan 37(a). Merupakan penegasan bahwa anak adalah subyek hukum yang mempunyai hak-hak dan kemerdekaan sipil sebagaimana layaknya orang dewasa. Sebagian terbesar dari ketentuan dalam kategori ini diturunkan dari “hak sipil dan politik” yang berlaku bagi orang dewasa. Misalnya, anak berhak untuk mempunyai nama dan kewarganegaraan, anak berhak atas kebebasan mengemukakan pendapat, dan berhak untuk bebas dari perlakuan semena-mena.
Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Pengganti: Terdiri atas Pasal-pasal 5, 18 ayat 1-2, 9, 10, 11, 19, 20, 21, 25, 27 ayat 4 dan 39.
Mengatur hubungan anak dengan orangtua/ keluarganya, baik hubungan ekonomi-sosial-budaya maupun hubungan sipil dan hubungan hukum. Misalnya hak anak mendapatkan jaminan nafkah dari orangtua terutama jika orangtua tinggal di negara lain, untuk mengetahui dan diasuh oleh kedua orangtuanya sendiri, hak anak jika orangtuanya berpisah, hak anak jika ia diangkat/ diadopsi oleh keluarga lain, dan sebagainya. Perlu diketahui, bahwa berhubung anak, baik secara ekonomi-sosial-budaya maupun secara sipil dan yuridis sangat bergantung kepada orangtua atau orang dewasa lain yang memegang hak asuh atas anak, maka aturan menyangkut kategori ini sangat luas dan cukup kompleks.
Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar: Terdiri atas Pasal-pasal 6, 18 ayat 3, 23, 24, 26 dan 27 ayat 1-3.
Memberikan kepada anak-anak hak atas standar kesehatan dan kesejahteraan. Misalnya, hak atas untuk memperoleh jaminan kesehatan dan jaminan sosial. Hak-hak ini diturunkan dari “hak ekonomi-sosial-budaya” yang berlaku bagi orang dewasa.
Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya: Terdiri atas Pasal-pasal 28, 29 dan 31.
Sebagaimana kategori sebelumnya, hak-hak di sini pada umumnya juga diturunkan dari hak-hak ekonomi-sosial-budaya yang berlaku bagi orang dewasa. Misalnya hak atas pendidikan dasar secara gratis.
Perlindungan Khusus: Terdiri atas Pasal-pasal 22, 38, 39, 40, 37 (b)-(d), 32, 33, 34, 35 dan 36.
Kategori ini dibagi lagi menjadi empat sub-kategori, yakni: (A) Perlindungan bagi anak dalam situasi konflik bersenjata dan yang menjadi atau mencari status pengungsi; (B) Perlindungan bagi anak yang melakukan pelanggaran hukum; (C) Perlindungan bagi anak dari eksploitasi ekonomi, penyalah-gunaan obat dan narkotika, eksploitasi seksual, penjualan dan perdagangan, atau dari bentuk-bentuk eksploitasi lainnya; dan (D) Perlindungan bagi anak-anak dari kelompok minoritas serta kelompok masyarakat adat (indigenous). Kategori ini bersifat khas hak anak dan sangat kompleks. Kategori ini meliputi baik hak-hak ekonomi-sosial-budaya maupun hak-hak sipil-politik.
Bagi pembaca yang mempunyai minat untuk mempelajari secara lebih mendalam mengenai rincian lebih lanjut dari kandungan substantif hak-hak anak tersebut, disarankan untuk membaca Konvensi Hak Anak.
Konvensi Hak Anak, karena sifat yang cakupannya, membawa pandangan baru yang radikal terhadap anak sebagai manusia dan sekaligus subyek hukum. Jika standar-standar dalam KHA ditegakkan secara konsisten dan konsekuen, hanya dalam satu generasi ia akan membawa dampak yang cukup berarti bagi pandangan dan praktek sosial masyarakat, tidak saja terhadap anak-anak namun juga terhadap sesama manusia lainnya.
Implementasi Konvensi Hak Anak
Di atas tadi telah didiskusikan secara ringkas bagaimana faktor-faktor ekonomi, sosial, politik dan budaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap anak; dan bagaimana hubungannya dengan perkembangan konsep hak anak. Juga bagaimana penetapan standar yang mengikat secara yuridis dan penegakannya membawa pengaruh pada persepsi dan praktek sosial (dalam hal ini menyangkut hak anak).
Berdasarkan sifatnya, hukum internasional termasuk hukum internasional dibidang HAM (KHA adalah bagian integral dari hukum internasional dibidang HAM), bersifat mengikat terhadap Negara; bukannya mengikat individu maupun badan-badan hukum swasta.
Penegakan hukum internasional dibidang HAM, agar bersifat mengikat terhadap individu dan badan-badan swasta, harus dilakukan dengan mentransformasikan hukum internasional bersangkutan kedalam ketentuan-ketentuan didalam hukum nasional suatu Negara. Inilah yang disebut sebagai implementasi atau aplikasi domestik dari hukum HAM internasional. (Perlu diingat bahwa hanya instrumen internasional yang bersifat mengikat secara yuridis-lah — seperti Konvensi Hak Anak — yang mempunyai kekuatan paksa agar diimplementasikan di tingkat nasional).
Dalam kaitan ini, karena Republik Indonesia sudah ikut menyetujui (meratifikasi) KHA, maka Indonesia terikat pada kewajiban yuridis untuk mengimplementasikan KHA didalam wilayah hukum nasional Indonesia.
Dalam wacana HAM, ada tiga kewajiban dasar yang dikenal sebagai kewajiban generik (generic obligations). Kewajiban-kewajiban lain pada umumnya merupakan turuna atau derivat dari ketiga kewajiban generik tersebut. Tiga kewajiban generik dimaksud ialah:
• Kewajiban untuk menghormati (respect),
• Kewajiban untuk melindungi (protect), dan
• Kewajiban untuk memenuhi (fulfill).
Kewajiban untuk menghormati mengharuskan Negara untuk tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang ada dalam Konvensi. Kewajiban ini relatif mudah dan murah, karena hanya mengehendaki abstensi: sudah cukup terlaksana sejauh Negara, perangkat dan aparatnya, tidak melakukan pelanggaran. Misalnya, polisi tidak melakukan penangkapan dan pehananan sewenang-wenang, atau penyiksaan, terhadap anak yang dicurigai telah melakukan pencurian. Kiranya tidak perlu penjelasan panjang lebar, tidak melakukan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang dan tidak menyiksa anak yang dituduh mencuri, sama sekali merupakan perkara mudah dan tidak membutuhkan biaya sepeserpun.
Kewajiban untuk melindungi mengharuskan Negara untuk memberikan perlindungan agar anak tidak dilanggar haknya oleh orang atau individu lain (termasuk orangtua anak sendiri), dan memberikan sanksi (biasanya sanksi pidana) bagi setiap pelanggaran Perlindungan dimaksud biasanya diwujudkan dengan membuat aturan hukum di tingkat nasional, atau menyesuaikan aturan hukum nasional yang ada agar sesuai dengan standar serta ketentuan yang terdapat dalam Konvensi. Upaya untuk memberi perlindungan agar tidak terjadi pelanggaran oleh pelaku-pelaku non-Negara seperti ini dikenal juga sebagai “efek horizontal dari hukum HAM internasional” (horizontal effect of international human rights law). Misalnya, Negara membuat aturan baru atau menyesuaikan aturan yang ada guna melarang dilakukannya tindakan main hakim sendiri oleh siapapun (termasuk oleh satpam) terhadap seorang anak yang dituduh atau diketahui mencuri; dan memberikan sanksi terhadap satpam yang telah melakukan tindakan main hakim sendiri tersebut.
Kewajiban untuk memenuhi mengharuskan Negara untuk memberikan apa-apa yang diakui sebagai hak dalam ketentuan Konvensi yang ada. Misalnya, jika ditentukan bahwa setiap anak yang dituduh telah melanggar hukum pidana (mencuri) berhak untuk didampingi oleh seorang pengacara, maka Negara harus menyediakan pengacara dimaksud. Kewajiban ini dikenal sebagai kewajiban yang paling sulit untuk dilakukan, antara lain karena implementasinya membutuhkan biaya yang cukup besar. Dalam contoh kasus tadi, dimana Negara harus menyediakan pengacara bagi setiap anak yang dituduh mencuri, jelas membutuhkan biaya (untuk gaji, administrasi kepegawaian, dsb.) yang tidak kecil.
Yang menjadi persoalan bagi kita kemudian ialah: apabila untuk melaksanakan kewajiban yang mudah dan murah saja tidak bisa dan tidak didorong dengan kemauan politik yang cukup, bagaimana kita bisa menjalankan kewajiban yang lebih sulit dan memerlukan membutuhkan biaya banyak?
Kembali kepada contoh kasus diawal tulisan ini: Apabila untuk mengatur, demi memberikan perlindungan kepada anak dari eksploitasi ekonomi, batas usia minimum anak boleh dipekerjakan dan menindak siapapun yang telah mempekerjakan anak secara illegal, Negara tidak bisa dan tidak mempunyai kemauan politik untuk itu; bagaimana kita bisa diyakinkan bahwa Negara telah berusaha untuk memenuhi pendidikan dasar yang gratis kepada semua anak sementara kita tahu bahwa memberikan pendidikan dasar gratis kepada setiap anak membutuhkan biaya yang jauh lebih besar daripada biaya yang dibutuhkan untuk menjatuhkan sanksi kepada orang yang mempekerjakan anak-anak?
Bukankah akan lebih masuk akal jika Negara menjatuhkan sanksi denda kepada siapapun yang mempekerjakan anak dan mengalokasikan denda yang diperoleh untuk keperluan pendidikan anak?
Pertanyaan dasar yang sepele dan berangkat dari akal sehat seperti ini, jika ditanggapi secara defensif dengan mengetengahkan argumen-argumen yang kelihatannya seperti argumen akademis yang canggih dan muluk-muluk, kiranya hanya akan menjadi debat kusir beretele-tele dan tidak jelas juntrungannya.
Krisis Ekonomi dan Implementasi Hak Anak
Logika dasar dicanangkannya hukum internasional dibidang HAM, ialah agar standar yang ditetapkan bisa diberlakukan di banyak Negara terlepas dari sistim hukum dan politik maupun sistim ekonomi yang mungkin berbeda diantara berbagai Negara. Dengan demikian, terlepas dari sistim politik, sistim hukum maupun sistim ekonomi (apakah sosialis atau pasar bebas, atau setengah sosialis setengah pasar bebas) KHA tetap harus diimplementasikan di Negara-Negara yang sudah mengikatkan diri secara sukarela terhadap KHA (seperti Republik Indonesia, contohnya).
Bagaimana jika Negara mengalami krisis ekonomi yang dahsyat sehingga menjadi sulit bagi Negara untuk mencegah agar anak-anak tidak putus sekolah dan bekerja membantu keuangan keluarga?
Topik ini mungkin bisa memicu perbedaan pendapat dan debat kusir mengenai apakah Negara tetap berkewajiban mengimplementasikan hak anak secara penuh atau ia bisa mendapat masa istirahat sejenak dari kewajibannya.
Yang jelas, logika kewajiban Negara berdasarkan hukum internasional merupakan suatu kepastian hukum. Lagipula, bukantah justru dimasa krisis itulah anak-anak lebih membutuhkan perlindungan Negara…
————————————————
Daftar Pustaka:
1. Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur dan UNICEF, TOR Lokakarya & Pelatihan bagi CBO, LSM Lokal dan Ponpes tentang Pekerja Anak di Sektor Berbahaya dan Siswa Rawan DO: Masalah dan Upaya Penanganannya, diselenggarakan di Malang 25-27 Mei 2000.
2. Ian Brownlie (ed.), Basic Documents on Human Rights (third edition), Oxford University Press, 1992.
3. International Human Rights Internship Program (IHRIP), panduan belum diberi judul dan belum dipublikasikan mengenai Training Manual on ESC Rights Activism.
4. Ravindran DJ, A Resource Book for Human Rights Study Sessions (karya tidak dipublikasikan).
5. Save the Children, UN Convention on the Rights of the Child: An International Save the Children Alliance Training Kit, 1997
6. UNICEF, Implementation Handbook for the Convention on the Rights of the Child, UNICEF, 1998


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

APA ITU DEMOKRASI DI INDONESIA?
Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi, sehingga budaya demokrasi sudah mengakar di benak masyarakat Indonesia . Sistem ini memang sudah dianut oleh bangsa Indonesia sejak kemerdekaan Republik Indonesia . Lalu apakah yang dimaksud dengan demokrasi ? Demokrasi adalah pemerintahan rakyat . Artinya pemegang kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat . Segala kebijakan mengenai putusan pemerintah haruslah dirundingkan dengan rakyat .


Istilah demokrasi itu sendiri berasal dari negara Yunani, demos yang artinya rakyat, dan kratos yang artinya kekuasaan . Kata demokrasi itu sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles, yaitu sebagai bentuk suatu pemerintahan yang mengatur bahwa kekuasaan itu berada di tangan rakyat .


Negara Indonesia adalah salah satu negara yang menganut demokrasi dalam sisitem pemerintahannya . Indonesia sudah membuktikan hal tersebut dnegan mengadakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung . Selain itu masyarakat Indonesia bebas menyelenggarakan pertemuan dan bebas berbicara unutk mengeluarkan pendapat, kritikan, atau bahkan mengawasi jalannya siistem pemerintahan .Kebebasan dalam memeluk agama pun merupakan sebuah perwujudan dari negara demokratis .


Dalam membangun sebuah negara yang demokratis tidaklah mudah . Hal tersebut dikarenakan pembangunan sebuah sistem demokrasi dalam suatu negara dimungkinkan akan mengalami kegagalan . Akakn tetapi, di negara ini, sisitem demokrasi yang dijalankan terbilang mengalami kemajuan . Bisa dilihat dari bebasnya berkeyakinan, berpendapat, atau kebebasan untuk berkumpul tanpa ada yang membatasi .


Tetapi meskipun negara ini telah berhasil dalam menjalan sistem demokrasinya, tampaknya dewasa  ini sistem demokrasi tersebut banyak disalahgunakan dan kurang berjalan sebagaimana mestinya . Hal tersebut membuat bangsa ini mengalami banyak persoalan . Contohnya saja dalam kehidupan berpolitik . Sistem demokrasi yang sesungguhnya tampaknya sudah tidak berlaku lagi . Tetap saja ada unsur kekuatan dan kelemahan yang menentukan hasil akhir dari sebuah demokrasi . Siapa yang paling berkuasa maka dialah yang akan mendapatkan jabatan atau peranan tertentu . Bukan lagi murni dari hasil keyakinan dan pendapat orang banyak .


Sistem demokrasi yang dijalankan oleh suatu negara tentu memberikan dampak positif dan negatifnya . Dampak positifnya adalah demokrasi memberikan harapan dalam emnciptakan suatu kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan . Tetapi dampak negatif dari sistem ini adalah dapat meningkatnya angka pengangguran, kemacetan lau lintas, korupsi dan lain sebagainya . Sebenarnya demokrasi adalah sisitem yang buruk di antara alternatif yang lebih buruk . Akan tetapi, jika semua berjalan dengan lancar, maka semuanya juga akan lancar .


Apabila sebuah negara ingin melakuakn sebuah perubahan, maka sistem demokrasi adalah gagasan yang dinamis keren aprosesnya teru-menerus . Negara yang sukses menjalankan demokrasi adalah negara yang mampu menerapkan kebebasan, keadilan, dan kesejahtaraan yang sebenar-benarnya . Untuk itu, kita sebagai masyarakat Indonesia yang menganut sistem pemerintahan secara demokrasi, perlu menjaga dan menjalankan sistem tersebut sesuai dengan aturannya, sehingga sistem demokrasi tersebut dapat terwujud secara utuh di dalam sebuah sistem pemerintahan Indonesia menuju masyarakat yang sejahtera, aman, dan damai .

SEJARARAH DEMOKRASI INDONESIA?
Berbicara mengenai perjalanan demokrasi di indonesia tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan pasang surut demokrasi itu sendiri. Bangsa indonesia pernah menerapkan tiga model demokrasi, yaitu demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan demokrasi pancasila. Setiap fase tentunya memiliki karakteristik yang merupakan ciri khas dari pelaksanaan tiap-tiap tiap fase demokrasi.

Demokrasi yang kita kenal sekarang ini dipelopori oleh organisasi-ohrganisasi modern pada masa pergerakan nasional sebagai wacana penyadaran. Diantara organisasi modern tersebut, misalnya Budi Utomo (BU), Sarekat Islam, dan Perserikatan Nasional Indonesia.

Bangsa indonesia mengenal BU sebagai organisasi modern pertama yang didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908. Anggota BU terdiri dari kaum priyayi ningrat atau aristokrasi dan kaum intelektual. Kelompok pertama bersifat konservatif, sedamgkan kelompok kedua bersifat progresif. Dari sini tampak bahwa BU masih bersifat elitis. Didalm organisasi BU anggotanya belajar berdemokrasi dengan mengenalkan dan menyalurkan ide, gagasan dan harapan adanya intregasi nasional. Organisasio BU dijadikan wahana pendidikan politik bagi kaum priyayi dan kaum intelektual antara lain memupuk kesadaran politik, berpatisipasi dalam aksi kolektif dan menghayati identitas diri mereka. (Sartono Kartodirdjo, 1992 : 105).

Menjelang surutnya BU, muncul organisasi modern yang berwatak lebih egaliter, yaitu Sarekat Islam (SI). Organisasi yang didirikan tahun 1911 di Solo. Pada awalnya SI merupakan gerakan reaktif terhadap situasi kolonial, namun dalam perkembangannya organisasi ini melangkah ke arah rekontruksi kehidupan bangsa dan akhirnya beralih ke perjuangan politik guna menentukan nasib bangsanya sendiri.

Gerakan nasionalis indonesia dengan cepat meningkat dalam tahun 1927 dengan didirikannya Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Para pemimpin PNI terdiri dari kaum muda yang memperoleh pendidikan di negeri belanda pada permulaan tahun 1920-an. Sewaktu di negeri belanda mereka menggabungkan diri dengan organisasi mahasiswa, yaitu perhimpunan indonesia (PI). Organisasi pemuda pada saat itu sangat terpengaruh oleh PNI. Salah satu peristiwa penting dalam gerakan nasional adalh konggres pemuda indonesia ke-II yang melahirkan sumpah pemuda. Dalam forum ini kaum muda yang berasal dari berbagi daerah menghilangkan semangat kedaerahan mereka dan menggantikan dengan semangat persatuan dan kesatuan bangsa serta bekerja sama untuk menciptakan suatu negara indionesia yang merdeka.

Macam-macam demokrasi di Indonesia :

1.      Demokrasi Kerakyatan Pada Masa Revolusi
Pada masa revolusi 1945 1950 banyak kendala yang dihadapi bangsa indonesia, misalnya perbedaan-perbedaan antara kekuatan-kekuatan perjuangan bersenjata dengan kekuatan diplomasi, antara mereka yang mendukung revolusi sosial dan mereka yang menentangnya dan antara kekuatan islam dalam kekutan sekuler. Di awal revolusi tidak satupun perbedaan di antara bangsa indonesia yang terpecahkan. Semua permasalahan itu baru dapat diselesaikan setelah kelompok-kelompok kekuatan itu duduk satu meja untuk memperoleh satu kata sepakat bahwa tujuan pertama bangsa indonesia adalah kemerdekaan bangsa indonesia. Pada akhirnya kekuatan-kekuatan perjuangan bersenjata dan kekuatan diplomasi bersama-sama berhasil mencapai kemerdekaan.

2.      Demokratisasi Dalam Demokrasi Parlementer
Pada periode tahun 1950-an muncul kaum nasionalis perkotaan dari partai sekuler dan partai-partai islam yang memegang kendali pemerintahan. Ada sesuatu kesepakatan umum bahwa kedua kelompok inilah yang akan menciptakan kehidupan sebuah negara demokrasi di indonesia. Undang Undang dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif terdiri dari presiden sebagai kepala negara konstitusional beserta para menteri yang mempunyai tanggung jawab politik. Setiap kabinet terbentuk berdasarkan koalisi pada satu atau dua partai besar dengan beberapa partai kecil. Koalisi ternyata kurang mantap dan partai-partai koalisi kurang dewasa dalam menghadapi tanggung jawab mengenai permasalahan pemerintahan. Di lain pihak, partai-partai dalam barisan oposisi tidak mampu berperan sebagi oposisi kontruktif yang menyusun program-program alternatif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif dari tugas oposisi (Miriam Budiardjo, 70). Pemilu tahun 1955 tidak membawa stabilitas yang diharapkan, malah perpecahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tidak dapat dihindarkan. Faktor-faktor tersebut mendorong presiden soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menentukan berlakunya kembali UUD 1945. Dengan demikian masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir.

3.      Demokratisasi Dalam Demokrasi Terpimpin
Ini merupakan suatu sistem yang didominasi oleh kepribadian soekarno yang prakarsa untuk pelaksanaan demokrasi terpimpin diambil bersama-sama dengan pimpinan ABRI (Hatta, 1966 : 7). Pada masa ini terdapat beberapa penyimpangan terhadap ketentuan UUD 1945, misalnya partai-partai politik dikebiri dan pemilu ditiadakan. Kekuatan-kekuatan politik yang ada berusha berpaling kepada pribadi Soekarno untuk mendapatkan legitimasi, bimbingan atau perlindungan. Pada tahun 1960, presiden Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan menggantikanya dengan DPRGR, padahal dalam penjelasn UUD 1945 secara ekspilisit ditentukan bahwa presiden tidak berwenang membubarkan DPR. Pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965 telah mengakhiri periode demokrasi terpimpin dan membuka peluang bagi dilaksanakannya demokrasi Pancasila.

4.      Demokratisasi Dalam Demokrasi Pancasila
Pada tahun 1966 pemerintahan Soeharto yang lebih dikenal dengan pemerintahan Orde Baru bangkit sebagai reaksi atas pemerintahan Soekarno. Pada awal pemerintahan orde hampir seluruh kekuatan demokrasi mendukungnya karena Orde Baru diharapkan melenyapkan rezim lama. Soeharto kemudian melakukan eksperimen dengan menerapkan demokrasi Pancasila. Inti demokrasi pancasila adalah menegakkan kembali azas negara hukum dirasakan oleh segenap warga negara, hak azasi manusia baik dalam aspek kolektif maupun aspek perseorangan dijamin dan penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan secara institusional. Sekitar 3 sampai 4 tahun setelah berdirinya Orde Baru menunjukkan gejala-gejala yang menyimpang dari cita-citanya semula. Kekuatan kekuatan sosial-politik yang bebas dan benar-benar memperjuangkan demokrasi disingkirkan. Kekuatan politik dijinakkan sehingga menjadi kekuatan yang tidak lagi mempunyai komitmen sebagai kontrol sosial. Pada masa orde baru budaya feodalistik dan paternalistik tumbuh sangat subur. Kedua sikap ini menganggap pemimpin paling tahu dan paling benar sedangkan rakyat hanya patuh dengan sang pemimpin. Sikap mental seperti ini telah melahirkan stratifikasi sosial, pelapisan sosial dan pelapisan budaya yang pada akhirnya memberikan berbagai fasilitas khusus, sedangkan rakyat lapisan bawah tidak mempunyai peranan sama sekali. Berbagai tekanan yang diterima rakyat dan cita-cita mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang tidak pernah tercapai, mengakibatkan pemerintahan Orde Baru mengalami krisis kepercayaan dan kahirnya mengalami keruntuhan.

5.      Rekonstruksi Demokrasi Dalam Orde Reformasi
Melalui gerakan reformasi, mahasiswa dan rakyat indonesia berjuang menumbangkan rezim Soeharto. Pemerintahan soeharto digantikan pemerintahan transisi presiden Habibie yang didukung sepenuhnya oleh TNI. Orde Baru juga meninggalkan warisan berupa krisis nasional yang meliputi krisis ekonomi, sosial dan politik. Agaknya pemerintahan Orde Reformasi Habibie mecoba mengoreksi pelaksanaan demokrasi yang selama ini dikebiri oleh pemerintahan Orde baru. Pemerintahan habibie menyuburkan kembali alam demokrasi di indonesia dengan jalan kebebasan pers (freedom of press) dan kebebasan berbicara (freedom of speech). Keduanya dapat berfungsi sebagai check and balances serta memberikan kritik supaya kekuasaan yang dijalankan tidak menyeleweng terlalu jauh. Dalam perkembanganya Demokrasi di indonesia setelah rezim Habibie diteruskan oleh Presiden Abdurahman wahid sampai dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat signifikan sekali dampaknya, dimana aspirasi-aspirasi rakyat dapat bebas diutarakan dan dihsampaikan ke pemerintahan pusat. Ada satu hal yang membuat indonesia dianggap negara demokrasi oleh dunia Internasional walaupun negara ini masih jauh dikatakan lebih baik dari negara maju lainnya adalah Pemilihan Langsung Presiden maupun Kepala Daerah yang dilakukan secara langsung. Mungkin rakyat indonesia masih menunggu hasil dari demokrasi yang yang membawa masyarakat adil dan makmur secara keseluruhan.

UNTUK APA DEMOKRASI DI INDONESIA?
Sejatinya, tujuan kita berdemokrasi adalah untuk menuju kehidupan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia (kesejahteraan). Demokrasi adalah jalan, metode, cara, bahkan sistem yang kita yakini paling cepat untuk mengantarkan kita menuju kesejahteraan itu. Tapi demokrasi yang seperti apa? Terbukti, dari era Soekarno hingga reformasi kini, belum ada manfaat yang signifikan kita dapatkan dari demokrasi tersebut. Tahun 2012, skor indeks demokrasi kita masih 63,17 (dari skala 0-100).

Victor Silaen (2012: 173) mengatakan  bahwa dalam masa transisi demokrasi Indonesia pasca 1998, ketika demokratisasi tidak diikuti dengan pemerataan hasil pembangunan ekonomi dan kesejahteraan, maka orang mulai mempertanyakan bahkan menggugat premis dasar demokrasi yang katanya menjanjikan sistem (baru penataan) kehidupan demi kebaikan.



Aktor-aktor demokrasi

Yang bisa kita evaluasi dari perjalanan demokrasi kita adalah aktor-aktornya. Demokrasi perwakilan atau elektoral yang kita anut selama ini adalah sebuah keniscayaan. Sistem ini memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara (baik ataupun buruk) untuk menjadi aktor-aktor itu.

Beberapa tahun belakangan sudahlah cukup menjadi titik nadir kegagalan aktor-aktor selama ini. Korupsi yang menggerogoti hampir seluruh lini pemerintahan dan kekuasaan menggambarkan betapa besarnya kerusakan demokrasi kita. Mereka tak ubahnya oligarki yang menguasai sumber-sumber daya seperti era Soeharto. Bahkan kini lebih buruk, korupsi tak hanya di  lingkaran kekuasaan utama, tapi terdesentralisasi hingga ke daerah-daerah.

Kepercayaan rakyat tak ketinggalan jatuh hingga titik nadir. Padahal kredo dari demokrasi adalah kekuasaan ada di tangan rakyat. Maka, kebutuhan akan aktor-aktor yang tak bermental koruptif menjadi  suatu keharusan, sebab kita tak berharap demokrasi ini justru makin menjauhkan kita dari kesejahteraan.

Sesuai amanat konstitusi kita, pemilihan umum (pemilu), baik pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, adalah sarana mendapatkan aktor-aktor tersebut. Sehingga, pemilu harus menghasilkan orang-orang yang tepat. Orang-orang yang berkualitas dan berorientasi pada kemaslahatan rakyat banyak.  Agar janji yang dibawa demokrasi  tadi tak  diingkari.

Rakyat harus memilih anggota legislatif dan presiden yang  berdasarkan kualitas,  kapasitas, intelektualitas, dan empati, serta meritokrasi. Sudah saatnya meninggalkan cara-cara tradisional yang memilih berdasarkan kedekatan, suku, janji-janji manis dalam kampanye, dan sebagainya. Mindset rakyat harus diatur bahwa pemilihan aktor-aktor menjadi penentu pencapaian tujuan kesejahteraan yang kita idamkan.

Seperti yang paham yang diyakini Baconia, dunia akan tertata dengan baik jika orang-orang berpengetahuan menduduki posisi yang memengaruhi kebijakan.

Yudi Latif berujar orang-orang yang mewakili rakyat itu harus sungguh-sungguh menjunjung daulat rakyat dengan menjadikan rakyat sebagai subyek yang harus dihormati, bukan obyek tirani militeristik atau tirani modal. Selama ini kita belum mendapatkan aktor yang demikian.

Masdar Hilmy memperingatkan kita bahwa jika demokrasi kembali dibajak para gerombolan yang hanya mencari perutungan belaka, dipastikan kualitas demokrasi kita mengalami stagnasi. Kita punya pengalaman dan masih menyisakan luka mengenai itu. Tentu kita tak ingin kembali  ke situasi seperti itu.

Maka sudah saatnya bagi seluruh rakyat Indonesia untuk membuka mata dan sadar bahwa tidak ada jalan lain untuk meperbaiki kerusakan demokrasi negara ini selain berpartisipasi aktif untuk memilih aktor-aktor yang tepat untuk mengemban amanah rakyat. Rakyat Indonesia harus sadar bahwa ia lah pemegang kekuasaan yang utama dalam sistem demokrasi. Ancaman nyata datang dari mulut Plato bahwa jika rakyat menolak partisipasi politik, bersiaplah dipimpin oleh orang bodoh.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PROSES BANGSA MENJADI NEGARA

Lahirnya Bangsa

Kronologis Sejarah Lahirnya Pancasila
Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi bangsa dan Negara Indonesia, bukan terbentuk secara mendadak serta bukan hanya diciptakan oleh seseorang sebagaimana yang terjadi pada ideologi-ideologi lain di dunia. Namun terbentuknya Pancasila melalui proses yang cukup panjang dalam sejarah bangsa Indonesia.

Secara kualitas Pancasila sebelum disahkan menjadi dasar filsafat Negara nilai-nilainya telah ada dan berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang berupa nilai-nilai adat-istiadat, kebudayaan dan nilai-nilai religious. Kemudian para pendiri Negara Indonesia mengangkat nilai-nilai tersebut dirumuskan secara musyawarah mufakat berdasarkan moral yang luhur, antara lain dalam sidang-sidang BPUPKI pertama, sidang Panitia Sembilan yang kemudian menghasilkan piagam Jakarta yang memuat Pancasila yang pertama kali, kemudian dibahas lagi dalam sidang BPUPKI kedua. Setelah kemerdekaan Indonesia sebelum sidang resmi PPKI Pancasial sebagi calon dasar filsafat negera dibahas serta disempurnakan kembali dan akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945 disahkan oleh PPKI sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia.
Oleh karena itu agar memiliki pengetahuan yang lengkap tentang proses terjadinya Pancasila, maka secara ilmiah harus ditinjau berdasarkan proses kausalitas. Maka secara kausalitas asal mula Pancasila dibedakan atas dua macam yaitu: asal mula yang langsung dan asal mula yang tidak langsung. Adapun pengertian asal mula tersebut adalah sebagai berikut:

1. Asal Mula yang Langsung
Pengertian : Asal mula secara ilmiah filsafat dibedakan atas empat macam yaitu:
     Asal mula bahan (Kausa Materialis)Bangsa Indonesia adalah sebagai asal dari nilai-nilai Pancasila, sehingga pancasila itu pada hakikatnya nilai-nilai yang merupakan unsure-unsur Pancasila digali dari bangsa Indonesia yang berupa nilai-nilai adat-istiadat kebudayaan serta nilai-nilai religious yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Dengan demikian asal bahan Pancasila adalah pada bangsa Indonesia sendiri yang terdapat dalam kepribadian dan pandangan hidup.
     Asal mula bentuk (Kausa Formalis)Hal ini dimaksudkan bagaimana asal mula bentuk atau bagaiman bentuk Pancasila itu dirumuskan sebagaimana termuat dalam pembukaan UUD 1945. Maka asal mula bentuk Pancasila adalah Ir. Soekarno bersama-sama Drs.Moh Hatta serta anggota BPUPKI lainnya merumuskan dan membahas Pancasila terutama dalam hal bentuk, rumusan serta nama Pancasila.
     Asal mula karya (Kausa Effisien)Kausa Effisien atau asal mula karya yaitu asal mula yang menjadikan Pancasila dari calon dasar Negara menjadi dasar Negara yang sah. Asal mula karya adalah PPKI sebagai pembentuk Negara dan atas kausa pembentuk Negara yang mengesahkan Pancasila menjadi dasar Negara yang sah, setelah dilakukan pembahasan baik dalam sidang-sidang BPUPKI, Panitia Sembilan
     Asal mula tujuan (Kausa Finalis)Pancasila dirumuskan dan dibahas dalam sidang-sidang para pendiri Negara, tujuannya adalah untuk dijadikan sebagai dasar Negara. Oleh karena itu asal mula tujuan tersebut adalah para anggota BPUPKI dan Panitia Sembilan termasuk Soekarno dan Hatta yang menentukan tujuan dirumuskannya Pancasila sebelum ditetapkan oleh PPKI sebagai dasar Negara yang sah. Demikian pula para pendiri Negara tersebut juga berfungsi sebagai kausa sambungan karena yang merumuskan dari filsafat Negara.

2. Asal Mula yang Tidak Langsung
            Secara kausalitas asal mula yang tidak langsung pancasila adalah asal mula sebelum proklamasi kemerdekaan. Berarti bahwa asal mula nilai-nilai pancasila yang terdapat dalam adat-istiadat, dalam kebudayaan serta dalam nilai-nilai agama bangsa Indonesia. Sehingga dengan demikian asal mula tidak langsing Pancasila adalah terdapat pada kepribadian serta dalam pandangan hidup sehari-hari bangsa Indonesia. Maka asal mula tidak langsung Pancasila bilamana dirinci adalah sebagai berikut:
     Unsur-unsur Pancasila tersebut sebelum secara langsung dirumuskan menjadi dasar filsafat negra,nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan telah ada dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk Negara.
     Nilai-nilai tersebut terkandung dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk Negara, yang berupa nilai-nilai adat-istiadat, nilai kebudayaan serta nilai-nilai religious. Nilai-nilai tersebut menjadi pedoman dalam memecahkan problema kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.
     Dengan demikian dapat disimpulakan bahwa asal-mula tidak langsung Pancasila pada hakikatnya bangsa Indonesia sendiri, atau dengan lain perkataan bangsa Indonesia sebagai ‘Kausa Materialis’ atau sebagai asal mula tidak langsung nilai-nilai Pancasila.

Demikian tinjauan Pancasila dari segi kausalitas, segingga memberikan dasar-dasar ilmiah bahwa Pancasila itu pada hakikaatnya adalah sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, yang jauh sebelum bangsa Indonesia membentuk Negara nilai-nilai tersebut telah tercermin dan teramalkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu tinjauan kausalitas tersebut memberikan bukti secara ilmiah bahwa Pancasila bukan merupakan hasil perenungan atau pemikiran seseorang, atau sekelompok orang bahkan Pancasila juga bukan merupakan hasil sintesa paham-paham besar dunia, melainkan nilai-nilai Pancasila secara tidak langsung telah terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia.

Nilai-nilai essensial yang terkandung dalam Pancasila yaitu : Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan serta Keadilan, dalam kenyataannya secara objektif telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum mendirikan Negara. Proses terbentuknya Negara dan bangsa Indonesia melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang yaiut sejak zaman batu kemudian timbulnya kerajaan-kerajaan pada abad ke IV, ke V kemudian dasr-dasar kebangsaan Indonesia telah mulai Nampak pada abad ke VII, yaitu ketika timbulnya kerajaan Sriwijaya dibawah wangsa Syailendra di Palembang, kemudian kerajaan Airlangga dan Majapahit di Jawa Timur serta kerajaan-kerajaan lainnya.
Dasar-dasar pembentukan nasionalisme modern dirintis oleh para pejuang kemerdekaan bangsa, antara lain rintisan yang dilakukan oelh para tokoh pejuang kebangkitan nasional pada tahun 1908. Akhirnya titik kulminasi sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mendiriakan Negara tercapai dengan diproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Zaman Kutai
            Indonesia memasuki zaman sejarah pada tahun 400 M, dengan ditemukannya prasasti yang berupa 7 yupa (tiang batu). Berdasarkan prasasti tersebut dapat diketahui bahwa raja Mulawarman keturunan dari raja Asmawarman keturunan dari Kudungga. Raja Mulawarman menurut prasasti tersebut mengadakan kenduri dan member sedekah kepada para brahmana, dan para brahmana membangun yupa itu sebagai tanda terima kasih raja yang dermawan (Bambang Sumadjo,dkk, 1997). Masyarakat Kutai yang membuka zaman sejarah Indonesia pertama kalinya ini menampilkan nilai-nilai social politik, dan ketuhanan dalam bentuk kerajaan, kenduri, serta sedekah kepada para Brahmana. Bentuk kerajaan dengan agama sebagai tali pengikat kewibawaan raja ini tampak dalam kerajaan-kerajaan yang muncul kemudian di dJawa dan Sumatara. Dalam Zaman kuno (400-1500) terdapat dua kerajaan yang berhasil mencapai intergrasi dengan wilayah yan gmeliputi hamper separoh Indonesia dan seluruh wilayah Indonesia sekarang yaitu kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan Majsapahit yang berpusat di Jawa.

Zaman Sriwijaya
            Menurut Mr. M. Yamin bahwa berdirinya Negara kebangsaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lama yang merupakan warisan nenk moyang bangsa Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia terbentuk melalui tiga tahap yaitu : pertama, zaman Sriwijaya dibawah wangsa syailendra (600-1400), yang bercirikan kedatuan. Kedua, Negara kebangsaan zaman Majapahit (1293-1525) yang bercirikan keprabuan, kedua tahap tersebut merupakan Negara kebangsan dIndonesia lama. Kemudian ketiga Negara kebangsaan modern yaitu Negara Indonesia merdeka.

Zaman Penjajahan
            Setelah Majapahit runtuh pada permulaan abad XVI maka berkembanglah agama Islam dengan pesatnya di Indonesia. Bersamaan dengan itu berkembang pulalah kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan Demak, dan mulailah berdatangan orang-orang Eropa di nusantara. Mereka itu antara lain orang Portugis yang kemudian diikuti oleh orang-orang Spanyol yang ingin mencari pusat tanaman rempah-rempah.
Bangsa asing yang masuk ke Indonesia yang apda awalnya berdagang adalah orang-orang bangsa Portugis. Namum lama kelamaan bangsa Portugis mulai menunjukan peranannya dalam bidang perdagangan yang meningkat menjadi praktek penjajahan misalnya Malaka sejak 1511 dikuasai oleh Portugis. Pada akhir abad ke XVI bangsa Belanda dating pula ke Indonesia dengan menempuh jalan yang penuh kesulitan. Untk mengindarkan persaingan di antara mereka sendiri (Belanda), kemudian mereka mendirikan suatu perkumpulan dagang yang bernama V.O.C., (verenigde Oost Indeische Compagnie), yang dikalangan rakyat dikenal dengan istilah ‘Kompeni’.

            Praktek-praktek VOC mulai kelihatan dengan paksaan-paksaan sehingga rakyat mulai mengadakan perlawanan. Mataran di bawah pemerihtahan sultan Agung (1613-1645) berupaya mengadakan perlawanan dan menyerang ke Batavia pada tahun 1628 dan tahun 1929, walaupun tidak berhasil meruntuhkan namun Gubernur Jenderal J.P. Coen tewas dalam serangan Sultan Agung yang akhirnya pun Sultan Agung menyusul untuk mangkat, sehingga Mataram menjadi bagian kekuasaan kompeni.

Penghisapan mulai memuncak ketika Belanda mulai menerapkan system monopoli melalui tanam paksa (1830-1870) dengan memaksakan beban kewajiban terhadap rakyat yan gtidak berdosa. Penderitaan rakyat semakin menjadi-jadi dan Belanda sudah tidak peduli lagi dengan ratap penderitaan tersebut, bahkan mereka semakin gigih dalam menghisap rakyat untuk memperbanyak kekayaan bangsa Belanda.

Kebangkitan Nasional
            Pada abad XX di panggung politik internasional terjadilah pergolakan kebangkitan Dunia Timur dengan suatu kesadaran akan kekuatannya sendiri. Republik Philipina (1898), dipelopori Joze Rizal, kemenangan Jepang atas Rusia di Tsunia (1950), gerakan Sun Yat Sen dengan republik Cinanya (1911). Partai Konggres di India dengan tokoh Tilak dan Gandhi, adapun di Indonesia bergolaklah kebangkitan akan kesadaran berbangsa yaiut kebangkitan nasional (1908) dipelopori oleh dr. Wahidin Sudirohusodo dengan Budi Utomonya.
Gerakan inilah yang merupakan awal gerakan nasional untuk mewujudkan suatu bangsa yang memiliki kehormatan akan kemerdekaan dan kekuatannya sendiri. Budi Utomo didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 merupakan gerakan pelopor berdirinya gerakan – gerakan nasional lainnya seperti: Sarekat Dagang Islam (SDI) (1909), Indische Partij (1913) yang dipimpin oleh tiga serangkai yaitu Douwes Dekker, Ciptomangunkusumo, Suwardi Suryaningrat dan gerakan-gerakan lain.

Zaman Penjajahan Jepang
            Setelah Belanda diserbu oleh tentara Nazi Jerman pada tanggal 5 Mei 1940 dan jatuh pada tanggal 10 Mei 1940, maka Ratu Wilhelmina dengan segenap aparat pemerintahannya mengungsi ke Inggris, sehingga pemerintahan Belanda masih dapt berkomunikasi dengan pemerintah jajahan di Indonesia. Janji Belanda tentang Indonesia merdeka di kelak kemudian hari dalam kenyataannya hanya suatu kebohongan belaka sehingga tidak pernah menjadi kenyataan. Bahkan sampai akhir pendudukan pada tanggal 10 Maret 1940, kemerdekaan bangsa Indonesia itu tidak pernah terwujud.
Fasis jepang masuk ke Indonesia dengan propaganda “Jepang Pemimpin Asia, Jepang Saudara tua bangsa Indonesia”, akan tetapi dalm perang melawan sekutu barat yaitu (Amerika, Inggris, Rusia, Perancis, Belanda dan Negara sekutu lainnya) nampanknya Jepang semakin terdesak. Oleh karena itu agar mendapat dukungan dari bangsa Indonesia, maka pemerintah Jepang bersikap bermurah hati terhadap bansa Indonesia, yaiut menjanjikan Indonesia meredeka di kelak kemudian hari.
Untuk mendapat simpati dan dukungan dari bangsa Indonesia maka sebagai realisasi janji tersebut maka dibentuklah suatu badan yang bertugas untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zyumbi Tioosakai.

Pada hari itu juga diumumkan nama-nama ketua, wakil ketua serta para anggota sebagai berikut:
     Ketua (Kaicoo) : Dr. K.R.T Radjiman Wediodiningrat
     Ketua Muda : Iclubangse (seorang anggota luar biasa)
     Ketua Muda : R.P. Soeroso (Merangkap kepala)
Dan dengan 60 orang anggota biasa bangsa Indonesia (tidak termasuk ketua dan ketua muda).

Sidang BPUPKI pertama
BPUPKI mulai bekerja pada tanggal 28 Mei 1945, dimulai upacara pembukaan dan pada keesokan harinya dimulai sidang-sidang (29Mei-1 Juni 1945). Yang tampil untuk berpidato menyampaikan usulannya adalah sebagai berikut : (a) tanggal 29 Mei, Mr. Muh Yamin, (b) tanggal 31 Mei, Prof Soepomo dan (c) tangal 1 Juni Ir. Soekarno

a. Mr. Muh. Yamin ( 29 Mei 1945)
Dalam pidatonya tanggal 29 Mei 1945 Muh. Yamin mengusulkan calon rumusan dasar Negara Indonesia sebagai berikut:
1.    Peri Kebangsaan
2.    Peri Kemanusiaan
3.    Peri Ketuhanan
4.    Peri Kerakyatan
5.    Kesejahteraan Rakyat
Selain usulan tersebut pada akhir pidatonya Mr. Muh. Yamin menerahkan naskah sebagai lampiran yaitu suatu rancangan usulan sementara berisi rumusan UUD RI dan rancangan itu dimulai dengan Pembukaan yang bunyinya adalah sebagai berikut:
“untuk membentuk Pemerintahan Negara Indonesia yang melindung segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, menyuburkan hidup kekluargaan, dan iktu serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Persatuan Indonesia, dan Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dengan mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.”

b. Prof. Dr. Soepomo (31 Mei 1945)

Berbeda dengan usulan Mr.Muh. Yamin, Prof. Dr. Soepomo mengemukakan teori-teori Negara sebagai berikut:

1. Teori Negara perseorangan (Individualis),
 sebagaimana diajarkan oleh Thomas Hobbes (abad 17), Jean Jacquas Rousseau (abad 18), Herbert Spencer (abad 19), H.J Laski (abad 20). Menurut paham ini, Negara adalah masyarakat hukum (legal society) yang disusun atas kontrak antara seluruh individu (contract social). Paham Negara ini banyak terdapat di Eropa dan Amerika.

2. Paham Negara kelas (Class theory) atau teori ‘golongan’.
Teori ini sebagaimana diajarkan oleh Marx, Engels dan Lenin. Negara adalah alat dari suatu golongan (suatu klasse) untuk menindas kelas lain. Negara kapitalis adalah alat dari kaum borjuis, oleh karena itu kaum Marxis menganjurkan untuk meraih kekuasaan agar kaum buruh dapat ganti menindas kaum borjuis.
3. Paham Negara integralistik, yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller Hegel (abad 18 dan 19). Menurut paham ini Negara bukanlah untuk menjamin perseorangan atau golongan akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai suatu persatuan. Negara adalah susunan masyarakat yang integral, segala golongan, bagian atau anggotanya saling berhubungan erat satu dengan lainnya dan merupakan kesatuan organis. Menurut paham ini yang terpenting dalam Negara adalah pengidupan bansa seluruhnya. Negara tidak memihak kepada golongan yang paling kuat atau yang paling besar. Tidak memandang kepentingan seseorang sebagai pusat akan tetapi Negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai suatu persatuan.

c. Ir. Soekarno ( 1 Juni 1945)
            Usulan dasar Negara dalam sidang BPUPKI pertama berikutnya adalah pidato dari Ir. Soekarno, yang disampaikannya dalam sidang tersebut secara lisan tanpa teks. Beliau mengusulkan dasar Negara yang terdiri atas lima prinsip yang rumusannya adalah sebagai berikut:
1. Nasionalisme (kebangsaan Indonesia)
2. Internasionalisme (peri kemanusiaan)
3. Mufakat (demokrasi)
4. Kesejahteraan social
5. Ketuhanan Yang berkebudayaan

Lima prinsip sebagai dasar negara tersebut kemudian oleh Soekarno diusulkan agar diberi nama Pancasila atas salah seorang teman beliau ahli bahasa. Berikutnya menurut Soekarno kelima sila tersebut dapat diperas menjadi Tri Sila yang meliputi: (1) sosio nasionalisme yang merupakan sintesa dari ‘Kebangsaan (nasionalisme) dengan Peri kemanusiaan (internasionalisme, (2) Sosio demokrasi yang merupakan sintersa dari ‘Mufakat (demokrasi), dengan Kesejahteraan social, serta (3) Ketuhanan. Berikutnya beliau juga mengusulkan bahwa “Tri Sila” tersbut juga dapat diperas menjadi “Eka Sila” yang intinya adalah ‘gotong royong’.

Beliau mengusulkan bahwa Pancasila adalah sebagai dasar filsafat Negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia atau ‘Philosphische grondslag’ juga pandangan dunia yang setingkat dengan aliran-aliran besar dunia atau sebagai atau sebagai ‘weltanschauung’ dan diatas dasar itulah kita dirikan Negara Indonesia. Sangat menarik untuk dikaji bahwa beliau dalam mengusulkan dasar Negara tersebut selain secara lisan juga dalam uraiannya juga membandingkan dasar filsafat Negara ‘Pancasila’ dengan ideologi-ideologi besar dunia seperti liberalism, komunisme, chauvinism, kosmopolitisme, San Min Chui dan ideology besar dunia lainnya.

            Setelah usulan-usulan ditampung selanjutnya dibenutklah suat panitia kecil berjumlah delapan orang untuk menyusun dan mengelompokan semua usulan tersebut. Panitia delapan terdiri dari: Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Sutarjo, K.H. Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikoesoemo, Oto Iskandardinata, Moh. Yamin, Mr. A.A. Maramis. Setelah para panitia kecil yang berjumlah delapan orang tersegut bekerja meneliti dan mengelompokkan usulan yan gmasuk, diketahui ada perbedaan pendapat dari para anggota sidang tentang hubungan antara agam dan Negara. Para anggota sidang yang beragama Islam menghendaki bahwa Negara berdasrkan syariat Islam, sedangkan golongan nasionalis menghendaki bahwa Negara tidak mendasarkan hokum salah satu agama tertentu. Untuk mengatasi pergedaan ini maka dibentuk lagi suatu panitia kecil yang berjumlah Sembilan orang yang dikenal sebagai ‘panitia sembilan’, yang anggotanya berasal dari golongan nasionalis, yaitu: Ir. Soekarno, Mr. Moh Yamin, K.H Wachid Hasyim, Drs. Moh. Hatta ,K.H. Abdul Kahar Moezakir, Mr. Maramis, Mr. Soebardjo, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim.

Panitia Sembilan bersidang tanggal 22 Juni 1945 dan menghasilakan kesepakatan yang menurut istilah Ir. Soekarno adalah suatu modus, kesepakatan yang dituangkan di dalam Mukadimah (Preambule) Hukum Dasar, alinea keempat dalam rumusan dasar Negara sebagai berikut:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwkilan;
5. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Moh. Yamin mempopulerkan kesepakatan tersebut dengan nama Piagam Jakarta.

Sidang BPUPKI kedua
            Pada sidang kedua BPUPKI tanggal 10 Juli 1945 Ir. Soekarno diminta menjelaskan tentang kesepakatan tanggal 22 Juni 1945 (Piagam Jakarta). Oleh karena sudah mencapai kesepakatan maka pembicaraan mengenai dasar Negara dianggap sudah selesai. Selanjutnya dibicarakan mengenai materi undang-undang dasar (pasal demi pasal) dan diserahkan kepada Mr. Soepomo. Demikian pula mengenai susunan pemerintahan Negara yang terdapat dalam penjelasan UUD.

Sidang PPKI pertama
PPKI sebagai tindak lanjut dari BPUPKI mengadakan sidang untuk pertama kalinya pada tanggal 18 Agustus 1945, yang menghasilkan:
· Mengesahkan UUD 1945
· Mengangkat Ir. Soekarno dan Moh. Hatta sebagai presiden dan Wakil Presiden
· Untuk sementara pemerintahan dibantu oleh KNIP

Inilah sebagai hari disahkannya UUD 1945 yang berarti juga lahirnya pancasila karena didalam pembukaan UUD 1945 memuat isi dari pada Pancasila yang berisi lima butir:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia



PROSES NEGARA MENJADI BANGSA

Walaupun Negara Indonesia memiliki kekayaan yang sangat berlimpah dari Sabang sampai Marauke dengan sumber daya alamnya berlimpah. Namun, semua ini bukanlah merupakan jaminan terhadap layaknya kehidupan rakyatnya.
Karena, fakta sosial dilapangan menunjukkan Negara Indonesia merupakan salah satu Negara didunia ini yang telah gagal menjadi bangsa yang mandiri. Dimana, kekayaan alam yang berlimpah bukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, tetapi hanya untuk kesejahteraan bagi para konglomerat dan pemodal asing serta kelompok-kelompok tertentu saja dinegeri ini.
Sementara, masyarakat banyak mengalami keguncangan jiwa (Shock Culture), akibat permasalahan kehidupan yang dihadapinya. Karena selama ini, masyarakat tidak pernah mendapat solusi yang signifikan dari pemerintah pusat maupun daerah. Politisi sibuk mencitrakan diri dan mempertahankan kursi. Sedangkan rakyat, kini seakan-akan sudah tidak memiliki Negara.
Semua ini diakibatkan ketidakperdulian pemerintah pada rakyatnya lagi. Padahal, kekayaan berlimpah ruah namun kehidupan masyarakat semakin sulit dan terjepit, baik di kota maupun di pedesaan yang artinya “Negara gagal”.
Dimana, munculnya permasalahan ini disebabkan beberapa faktor yang menghantarkan rakyat tidak menikmati kemakmuran dari hasil negerinya sendiri demi kelangsungan kehidupan yang sejahtera pertama, produk-produk hukum dan kebijakan politik ekonomi yang diterapkan pemerintah sudah tidak mengacu pada nilai-nilai sosialis konstitusi pancasila serta tidak bertujuan menciptakan perlindungan atau mewujudkan kebumi pertiwi.
Melainkan mengacu dan berkiblat pada konsep dan nilai-nilai idiologi liberal yang nyata-nyata hanya berpihak kepada kepentingan serta kebutuhan ruang hidup (lebensraum) kaum pemodal asing (di negara asalnya Liberalisme ingin ditentang karena sistem ini tak akan membawa kesejahteraan rakyat).
Saya sangat kecewa dengan kinerja pemerintahan pusat maupun daerah yang kurang memperhatikan dan memperjuangkan kehidupan rakyatnya yang masih banyak kehidupan-kehidupannya dibawah garis kemiskinan yang paling fatal lagi menurutnya, banyak rakyat Indonesia yang menjual tenaga sampai keluar negeri.
Seharusnya, hal ini tidak terjadi kalau pemerintah menjalankan kepentingan rakyatnya terlebih dahulu. Hal ini dapat kita lihat, dengan diberikannya ijin-ijin pada swasta asing untuk menguasai, mengeksploitasi sumber daya alam (diatas bumi dan diperut bumi) dalam skala sangat luas dan waktu yang cukup lama seperti, ijin perkebunan, pemungutan hasil hutan dan pertambangan.
Sedangkan, faktor kedua kegagalan Negara ini terjadi, akibat bobroknya mentalitas politisi dan iklim politik yang cenderung menjadikan proses penegakkan hukum pengembang dan bersifat tebang pilih bahkan mengarah dan menciptakan sistem dan suasana (milieu) yang melindungi dan turut menyebarkan wabah korupsi secara massal dan sistematis keseluruh sistem organ dan aspek kehidupan bernegara.
Baik, dari mulai birokrat, sampai penegak hukum, dari dapur istana sampai dapur senayan. “Kebekuan ini dapat kita lihat dari banyaknya permasalahan kelas yang tidak dapat diselesaikan pemerintah secara hukum, akibat adanya tebang pilih seperti, dalam kasus Century, banyak lagi kasus korupsi kepala daerah yang masih beku karena kepentingan elit politik.
Semua ini, akibat elit-elit negeri ini mengadopsi nilai-nilai liberal ditambah korupsi yang kini mewabah, kehidupan rakyat terus semakin sulit, semakin sulit mendapatkan faktor produksi seperti tanah dan akses permodalan, faktor produksi tersebut telah dimonopoli oleh kalangan tertentu, lapisan tertentu, bahkan etnis-etnis tertentu, tak peduli melampaui batas-batas ketentuan undang-undang dan azas kepatutan.
Saat ini sumber daya alam bebas dikuasai, dimiliki,dikeruk oleh pemodal dan asing sehingga saat ini tak heran kita lihat dipedesaan para petani Indonesia trak lain hanyalah buruh tani dan tuna kisma (petani tak punya tanah).
Negara agraris ini, lebih memilih menjadi pengimpor beras kentang, kedelai, daging daripada harus membina mensejahterakan rakyat tani. Belum lagi permasalahan yang terjadi di perkotaan, banyaknya penggusuran yang dilakukan pemerintah terhadap pedagang tradisional/pedagang kaki lima (PKL), maupun pemukiman rakyat.
Sudah hal biasa yang digantikan dengan berdirinya kompleks real estate mewah dan bangunan mall raksasa dan menjual produk asing bukan gado-gado atau pecal. Akibat dengan banyaknya penggusuran yang dilakukan pemerintah pada pemukiman warga maka, akhirnya mudah ditemukan rumah gerobak, rumah kartun perumahan pinggiran rel, atau rumah gadang, dimana hidup tiga empat keluarga dalam satu rumah.
Pemerintah sibuk mengurusi kursi, mobil mewah, rumah mewah dan pelesiran dan mengabaikan penyediaan pemukiman warga kota, berupa rumah sederhana sekalipun sempit (RSSS). Sedangkan, konstitusi kita jelas dan tegas menyatakan, hajat hidup orang banyak dikuasai langsung oleh Negara untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kemudian fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara dan menjadi tanggung jawab Negara.
Ternyata ini hanya sebatas untaian kata manis dan puitis belaka dan bukan bagian dari kontrak sosial. Semua itu, hanya dijadikan sebagai fungsi yang membantu tidur dan mimpi indah rakyat. Pengertian pucuk pimpinan dinegeri tidak bukan membawa angin segar bagi rakyat, malah keterpurukan kehidupan rakyat semakin jelas.
Karena pemerintah sekarang yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih tetap mengadopsi dan melanjutkan nilai-nilai liberal demi kepentingan pemodal dan asing. Jadi, apa kelebihan Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden Indonesia ? jika, kentang impor, beras, kedelai dan daging import masih ada.





4 PILAR



            Setiap negara pasti mempunyai pondasi/pilar/dasar-dasar negara, begitu halnya juga dengan negara Indonesia, negara Indonesia mempunyai pilar-pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak hanya satu tetapi 4 pilar. Konsep ini digagas oleh alm Taufik Kiemas, beliau menggagas konsep ini mengingat  empat pilar ini adalah mutlak dan tidak bisa dipisahkan dalam menjaga dan membangun keutuhan bangsa. Seperti halnya sebuah bangunan dimana untuk membuat bangunan tersebut menjadi kokoh dan kuat, dibutuhkan pilar-pilar atau penyangga agar bangunan tersebut dapat berdiri dengan kokoh dan kuat, begitu halnya juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini.
macam-macam 4 pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara:
1.                  Pancasila
            adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
            Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.
            Meski terjadi perubahan kandungan dan urutan lima sila Pancasila yang berlangsung dalam beberapa tahap selama masa perumusan Pancasila pada tahun 1945, tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.
Sejarah Perumusan Pancasila
            Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen penetapannya ialah :
1.      Rumusan Pertama : Piagam Jakarta (Jakarta Charter) - tanggal 22 Juni 1945
2.      Rumusan Kedua : Pembukaan Undang-undang Dasar - tanggal 18 Agustus 1945
3.      Rumusan Ketiga : Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat - tanggal 27 Desember 1949
4.      Rumusan Keempat : Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara - tanggal 15 Agustus 1950
5.      Rumusan Kelima : Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama (merujuk Dekrit Presiden 5 Juli 1959)

2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD 1945 atau UUD ‘45,
            adalah hukum dasar tertulis, konstitusi pemerintahan negara Republik Indonesia saat ini. UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Sejak tanggal 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS, dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli 1959.
Pada tahun 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan, yang mengubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Tujuan, Pokok, Fungsi UUD1945
• Landasan Konstitusional atas landasan ideal yaitu Pancasila
• Alat pengendalian sosial (a tool of social control)
• Alat untuk mengubah masyarakat ( a tool of social engineering)
• Alat ketertiban dan pengaturan masyarakat.
• Sarana mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin.
• Sarana penggerak pembangunan.
• Fungsi kritis dalam hukum.
• Fungsi pengayoman
• Alat politik.

3.                  Bhinneka Tunggal Ika
            adalah moto atau semboyan Indonesia. Kalimat ini berasal dari bahasa Jawa Kuna dan sering diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
            Diterjemahkan per kata, bhinneka berarti “beraneka ragam”. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti “satu”. Kata ika berarti “itu”. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.

4.                  NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
            adalah bentuk dari negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan, selain itu juga bentuk negaranya adalah republik, kenapa NKRI, karena walaupun negara Indonesia terdiri dari banyak pulau, tetapi tetap merupakan suatu kesatuan dalam sebuah negara dan bangsa yang bernama Indonesia.
            Keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak dapat dipisahkan dari peristiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, karena melalui peristiwa proklamasi tersebut bangsa Indonesia berhasil mendirikan negara sekaligus menyatakan kepada dunia luar (bangsa lain) bahwa sejak saat itu telah ada negara baru yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Apabila ditinjau dari sudut Hukum Tata Negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lahir pada tanggal 17 Agustus 1945 belum sempurna sebagai negara, mengingat saat itu Negara Kesatuan Republik Indonesia baru sebagian memiliki unsur konstitutif berdirinya negara. Untuk itu PPKI dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 telah melengkapi persyaratan berdirinya negara yaitu berupa pemerintah yang berdaulat dengan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, sehingga PPKI disebut sebagai pembentuk negara. Disamping itu PPKI juga telah menetapkan UUD 1945, dasar negara dan tujuan negara.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang dibentuk berdasarkan semangat kebangsaan (nasionalisme) oleh bangsa Indonesia yang bertujuan melindungi segenap bangsa dan seluruh tampah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosil.
TUJUAN NKRI
Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdapat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea keempat yaitu “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.
Dari rumusan tersebut, tersirat adanya tujuan nasional/Negara yang ingin dicapai sekaligus merupakan tugas yang harus dilaksanakan oleh Negara, yaitu:
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2. Memajukan kesejahteraan umum;
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4. Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social.
            Setelah membahas 4 pilar berbangsa dan bernegara, 4 pilar tersebut penting untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau kita hanya berpikir bahwa Pancasila sebagai dasar dan pandangan hidup bangsa Indonesia,  juga sebagai alat pemersatu bangsa, UUD 1945 merupakan konstitusi dalam bernegara. Dua hal ini sudah menjadi sesuatu yang sangat fundamental bagi bangsa Indonesia, tapi bagi Almarhum Taufik Kiemas, dua pilar ini belumlah cukup, beliau mengeluarkan gagasan Empat Pilar Berbangsa yakni, Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam pemikiran almarhum Empat Pilar ini adalah mutlak dan tidak bisa dipisahkan dalam menjaga dan membangun keutuhan bangsa.
            Dua pilar Pancasila dan UUD 1945 masih belum terasa penerapannya. Pancasila baru saja masuk kedalam kurikulum pendidikan, sementara amanat UUD 1945 masih banyak yang diabaikan. Semangat persatuan dan kesatuan bangsa saat ini sudah mulai musnah, dan itu pada akhirnya akan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Keprihatinan terhadap hancurnya persatuan dan kesatuan bangsa inilah agaknya yang menginspirasi Taufik Kiemas mengeluarkan gagasan Empat Pilar Kebangsaan. Memang kalau dicermati empat pilar ini memanglah penyanggah persatuan dan kesatuan bangsa, dan empat pilar inilah yang menjadi inspirasi kekuatan para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.
            Bangsa ini terutama para pemimpinnya sudah mengalami degradasi moral secara signifikan, melakukan tindak kejahatan korupsi sudah dianggap prestasi dalam mengumpulkan kekayaan menjadi tugas utama mereka saat menjadi pejabat negara. Sungguh suatu hal yang sangat memprihatinkan, melihat kondisi saat ini yang sudah tidak sesuai lagi dengan 4 pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.
            Mungkin  sudah saatnya gagasan empat pilar oleh Taufik Kiemas tersebut  sudah selayaknya dilanjutkan dan diimplementasikan secara benar, agar negara ini tidak melupakan bahwa negara ini mempunyai 4 pilar penting yang harus selalu dijaga dan juga harus dijalankan dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno dalam Pidato Trisakti tahun 1963 menegaskan:
1.      berdaulat secara politik
2.      berdikari secara ekonomi
3.      berkepribadian secara sosial budaya
            Dalam bidang kemandirian politik, Soekarno telah berhasil memperjuangkan Pancasila sebagai kemandirian bangsa Indonesia dengan memiliki ideologi negara. Soekarno juga telah berhasil mempertahankan persatuan dengan menumpas setiap pemberontakan. Hanya saja karena kurangnya kemandirian dalam persoalan persenjataan, Soekarno cenderung mendapatkan pasokan senjata dari Rusia, sehingga ideologi komunis berkembang di Indonesia yang puncaknya adalah pertistiwa gerakan 30S/PKI. Sedangkan dalam politik luar negerinya, Soekarno ikut proaktif dalam mendorong terciptanya perdamaian dunia. Dalam politik ini, Soekarno berhasil mengadakan Konferensi Asia-Afrika (KAA), namun karena negara-negara yang hadir memiliki afiliasi politik terhadap kekuatan Komunis, sehingga kemandirian politik yang dicita-citakan makin bias, terlebih lagi ketika terjadi konfrontasi dengan negara Malaysia. Pidato-pidato Soekarno saat itu, kerap dianggap menggeser kedudukan Pancasila sebagai dasar negara. Meskipun, Soekarno sendiri berpendapat konsep-konsep itu merupakan penjabaran Pancasila.

            Dalam kemandirian sosial budaya, Soekarno secara tegas menolak budaya asing, padahal secara natural suatu bangsa tidak dapat mengisolasi diri dari pengaruh asing. Demi mewujukan kemandirian sosial budaya, pada era Soekarno hampir terperosok pada paham chauvinistik dengan mengisolasi diri dan fasisme dengan merendahkan bangsa lain, sehingga sering terjadi konflik dengan negara-negara tetangga.

            Sedangkan dalam kemandirian secara ekonomi ditegaskan Soekarno, bahwa lebih baik potensi sumberdaya alam Indonesia dibiarkan, hingga para putra bangsa mampu untuk mengelolanya. Bung Karno menolak eksploitasi atau penjajahan oleh kekuatan asing. Sayang sekali, sikap kemandirian itu bias oleh pertarungan politik internal sehingga yang muncul adalah konfrontasi melawan Barat dan tampak keberpihakan atau kedekatan kepada negera-negara komunis. Pada masa ini, semangat nasionalisme mengarahkan pada nasionalisasi perusahaan asing menjadi perusahaan milik negara. Peluang bagi swasta besar untuk berkembang dapat dikatakan minim. Pandangan liberalisasi ekonomi pada masa itu dapat dikatakan sebagai musuh negara. Kecenderungan dan keberpihakan Soekarno mengakibatkan terjadinya krisis politik dan ekonomi yang terjadi pada tahun 1965, sehingga ada tuntutan Ampera (amanat penderitaan rakyat), yaitu bubarkan PKI, perombakan kabinet dan turunkan harga. 

            Ajaran Soekarno yang diadopsi oleh Fidel Castro dalam konteks Kuba adalah ajaran Trisakti. Yang menarik adalah bahwa Fidel Castro mengadopsi dan menerapkan prinsip Soekarno itu secara konsisten dan tegar dalam seluruh sistem pemerintahannya. Konsistensi yang paling kentara adalah menolak segala bentuk imperialisme dan kapitalisme yang merupakan pendiktean oleh Barat tentang ekonomi, politik dan budaya. Castro sangat jelas menolak kehadiran dan campur tangan IMF dalam negaranya, bahkan menyerukan agar lembaga pendanaan kapitalis internasional yang menindas negara-negara berkembang itu semestinya dibubarkan dan dihentikan perannya. Ini merupakan wujud pelaksanaan Trisakti yang konsisten oleh Castro dalam konteks Kuba, yakni kemandirian dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Kekuatan ekonomi sendiri merupakan landasan bagi pemerintah Kuba untuk membangun negara dan rakyatnya. Tidak ada hutang luar negeri yang diterima sebagai landasan, sehingga tak ada kewajiban cicilan bunga hutang yang tinggi yang harus dibayar oleh pemerintah Kuba. Seluruh pendapatan negara dialokasikan pertama-tama untuk belanja tunjangan sosial, dan kedua untuk belanja pendidikan. Kepentingan lain berada dalam urutan prioritas berikutnya. Karena berdikari dalam bidang ekonomi, Kuba telah mampu mempertahankan kedaulatan dalam bidang politik dan kedaulatan dalam kebudayaan nasionalnya.



RUANG PUBLIK AGAMA

            Agama selalu merupakan bagian dari area kajian filsafat politik kontemporer. Di berbagai masyarakat di dunia, agama memainkan peranan penting di dalam perdebatan publik, maupun isu-isu sosial lainnya. Komunitas-komunitas religius di masyarakat, mulai dari agama Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, Islam, dan yang lainnya, berperan aktif di dalam kegiatan-kegiatan politik maupun sosial. “Orang”, demikian tulis Michael Reder, pengamat filsafat politik dan agama dari München, “kini berbicara tentang repolitisasi dari agama… dimana simbol-simbol agama dan bahasa dipindahkan ke bidang-bidang yang non religius.” (Reder, 2008)
            Di dalam realitas kehidupan banyak bangsa, agama dan kultur saling berpaut dan mempengaruhi kehidupan pribadi maupun sosial orang-orang yang ada di dalamnya. Di era globalisasi ini, muncul pula agama-agama baru yang memiliki banyak pengikut, walaupun sebelumnya mereka adalah sekte-sekte kecil saja yang terus berkembang pesat. Proses sekularisasi di Eropa, di mana agama ditempatkan semata sebagai urusan pribadi setiap orang, rupanya tidak mengecilkan peran agama di dalam kehidupan publik. Agama tidak mati. Ia memang berubah, dan perubahannya juga membawa perubahan sosial di dalam masyarakat.
Agama dan Pemikiran Kontemporer
            Di dalam diskusinya dengan para dosen di Hochschule für Philosophie der Jesuiten München, Jürgen Habermas, filsuf Jerman kontemporer, mengembangkan dan menyampaikan pemikirannya mengenai agama. (Schmidt/Reder, 2008) Filsuf-filsuf kontemporer lainnya, seperti Jacques Derrida, Richard Rorty, dan Gianni Vattimo, mengajukan pemikirannya untuk memahami peran agama di dalam masyarakat demokratis modern.
            Habermas berpendapat, bahwa agama memiliki peran yang penting untuk menjaga persatuan di dalam masyarakat majemuk. Namun, otoritas religius, yang diklaim berasal dari Tuhan oleh agama-agama, harus dibahasakan ulang menjadi bahasa-bahasa rasional yang mampu menarik persetujuan dari orang-orang yang mendengarnya. (Habermas, 1991) Agama tidak hanya memiliki fungsi spiritual, melainkan juga fungsi sosial untuk menjaga persatuan dan harmoni masyarakat. Namun, di dalam masyarakat modern demokratis yang majemuk, agama tidak lagi bisa mengklaim kebenaran mutlaknya, dan meninggalkan kelompok-kelompok lain yang memiliki perbedaan cara pandang.
            Dalam hal ini, Habermas sejalan dengan Immanuel Kant, filsuf masa Pencerahan asal Jerman. Mereka melihat agama sebagai dasar dan sumber dari tindakan-tindakan bermoral manusia. Jika agama dilenyapkan, maka tindakan-tindakan bermoral manusia, yang menjadi dasar dari terbentuknya peradaban, juga akan melemah. Habermas menyebut fenomena ini sebagai, “Kerinduan atas Apa yang Kurang.” (Habermas dalam Schmidt/Reder, 2006)
            Richard Rorty, filsuf politik dari AS, memiliki pendapat berbeda. Menurutnya, pembedaan tegas antara ruang publik dan ruang privat tetap harus dijaga, dan agama harus tetap menghormati pembedaan tersebut. Jika tidak, keutuhan masyarakat demokratis akan terancam, karena bahasa-bahasa agama yang bersifat eksklusif pada agama tertentu akan dipaksakan kepada masyarakat luas yang terdiri dari beragam kelompok. Dalam konteks ini, ia menegaskan, bahwa agama adalah ancaman bagi sistem politik demokratis, terutama demokrasi liberal. (Rorty, 2006)
            Jacques Derrida, filsuf Prancis kontemporer, mencoba masuk ke dalam inti perdebatan, yakni hubungan antara iman dan akal budi. Baginya, hubungan ini tidaklah pasti. Dengan metode dekonstruksinya, ia berusaha menunda kepastian makna yang muncul dari dua konsep ini, dan menemukan, bahwa keduanya berpaut erat, tanpa bisa dipisahkan secara jelas dan tegas, seperti yang diinginkan oleh kaum positivistik ateistik. (Derrida, 2001) Iman adalah sumber dari akal budi dan akal budi pun selalu menjadi penopang bagi iman manusia.
            Sejalan dengan para pemikir komunitarisme, Derrida juga menegaskan, bahwa agama dan kultur selalu berpaut erat, dan tak bisa dipisahkan begitu saja. Ajaran-ajaran agama selalu dibaca dalam kerangka berpikir kultural tertentu yang dihidupi suatu masyarakat. Perjumpaan keduanya menghasilkan pola kultural yang unik. Pertautan antara agama dan kultur menjadi semakin rumit di era globalisasi ini, di mana ruang dan waktu menjadi begitu relatif, akibat perkembangan yang begitu pesat dari teknologi informasi dan komunikasi. (Derrida, 2001)
            Niklas Luhmann, filsuf dan sosiolog asal Jerman, mengembangkan teori sistemnya untuk memahami peran agama di dalam masyarakat modern yang demokratis dan majemuk. Agama adalah salah satu sistem yang ada di masyarakat, dan salah satu peran sistem, menurut Luhmann, adalah mengurangi kerumitan di dalam masyarakat. Agama mengembangkan kepercayaan, terutama kepercayaan antar pemeluknya, dan dengan kepercayaan, berbagai aktivitas sosial masyarakat dapat dipersingkat. Kecurigaan adalah akar dari inefisiensi dan konflik. Dengan melihat agama sebagai sistem kepercayaan yang mengurangi kerumitan masyarakat, Luhmann menyoroti aspek duniawi dari agama. (Luhmann, 2002)
            Namun, Luhmann juga sadar, bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan manusia akan adanya Tuhan, atau yang transenden. Agama berpijak sekaligus di dua area sistem, yakni area sosial sebagai penjamin kepercayaan dan area spiritual sebagai jembatan kepada yang transenden. Di dalam masyarakat demokratis modern, agama memiliki peran yang ambivalen sebagai suatu bentuk sistem yang unik yang ada di masyarakat. Keduanya berjalan dan menjamin keberadaan masyarakat dan peradaban manusia itu sendiri.
Identitas dan Toleransi
            Michael Reder juga menegaskan, bahwa agama adalah pemenuh kebutuhan eksistensial manusia. Setiap orang perlu untuk merasa terikat dengan komunitas tertentu. Perasaan terikat ini penting di dalam proses pembentukan identitas pribadi dan sosial setiap orang. Di dalam masyarakat demokratis, kejelasan identitas pribadi maupun kelompok amatlah penting, supaya ia bisa menyampaikan kehendak dan kepentingannya secara lugas dan jelas, namun dengan bahasa-bahasa rasional yang bisa dipahami oleh anggota masyarakat lainnya. (Reder, 2008)
            Sebagaimana diamati oleh Vattimo, filsuf kontemporer asal Italia, dan Rorty, agama kini memiliki nama jelek sebagai biang keladi konflik dan perpecahan di berbagai belahan dunia. Agama menjadi sumber bagi kebencian dan diskriminasi di berbagai negara. Maka dari itu, agama perlu untuk kembali membuka ruang untuk toleransi, yakni toleransi khas demokrasi liberal. (Vattimo/Rorty, 2006) Ide toleransi ini sebenarnya bukan ide baru bagi agama. Setiap agama selalu memiliki aspek tolerannya sendiri. Yang perlu dilakukan adalah memperkuat tekanan pada sisi toleran setiap agama, dan kemudian mengubahnya menjadi tindakan dan kebijakan politik yang tegas.
            Ramalan para pemikir modern, bahwa agama akan hilang dari peradaban manusia, ternyata salah. Lepas dari segala ambivalen yang muncul, agama tetap memainkan peranan yang besar di dalam kehidupan manusia. Di area pendidikan, kesehatan, filsafat, politik, dan budaya, peran agama tetap kuat, dan bahkan semakin berkembang. Motif-motif religius tetap mewarnai beragam aspek kehidupan manusia, dan menghasilkan pencapaian-pencapaian luar biasa yang bisa memperbaiki kualitas hidup banyak orang.
            Namun, agama sekarang ini tidak dapat berdiri sendiri. Setiap agama perlu untuk belajar bersama dan mengenal agama-agama lainnya. Agama juga perlu menimba ilmu pengetahuan dari penelitian-penelitian ilmiah dan refleksi-refleksi filsofis yang aktual. Di dalam masyarakat modern yang demokratis dan majemuk, seperti ditegaskan oleh Habermas, agama adalah sumber spiritual bagi tindakan-tindakan bermoral manusia, namun kini harus dibahasakan dengan bahasa-bahasa ilmiah dan filosofis, yang bisa ditangkap dan dipahami oleh masyarakat luas, termasuk oleh kelompok ateis yang anti agama dan anti iman sekalipun.
           


RUANG PUBLIK IDEOLOGI

            Habermas merumuskan unsur normatif dari ruang publik, yakni sebagai bagian dari kehidupan sosial, dimana setiap warga negara dapat saling berargumentasi tentang berbagai masalah yang terkait dengan kehidupan publik dan kebaikan bersama, sehingga opini publik dapat terbentuk. Ruang publik ini dapat terwujud, ketika warga berkumpul bersama untuk berdiskusi tentang masalah-masalah politik.
            Refleksi Habermas tentang ruang publik berdasarkan deskripsi historisnya selama abad ke-17 dan ke-18, ketika cafe-cafe, komunitas-komunitas diskusi, dan salon menjadi pusat berkumpul dan berdebat tentang masalah-masalah politik. Refleksi atas deskripsi historis tersebut diperluas Habermas untuk merumuskan konsep ideal partisipasi publik didalam masyarakat demokratis dewasa ini.
            Arti penting dari refleksi Habermas ini terletak pada konsepsinya tentang proses diskursus, yang diidealkannya haruslah berbentuk perdebatan yang rasional dan kritis. Perdebatan ini dipagari oleh aturan-aturan yang melarang penggunaan bahasa yang bersifat emotif, dan fokus terhadap isi serta kerangka yang rasional saja.
            Partisipan debat juga diharuskan memiliki kepentingan bersama atas kebenaran, yang berarti mereka juga harus dapat menunda perbedaan status, sehingga mereka berbicara dalam keadaan setara. Sikap kritis juga merupakan salah satu unsur kunci yang memegang peranan, sehingga berbagai bentuk argumentasi yang disodorkan dapat diuji melalui debat publik, dan partisipan dapat menemukan makna secara bersama sebagai hasil dari proses debat rasional kritis tersebut (calhoun, 1993).

Media dan Demokrasi
            Habermas juga sangat menekankan peran kritis dari media didalam ruang publik. Ia membedakan antara media dimasa-masa awal yang memusatkan diri pada berbagai isu kontroversi dan debat politik rasional, dan media dewasa ini yang seringkali menjadikan berita sebagai barang dagangan saja.
            Ia kemudian mendeskripsikan perkembangan surat kabar pada awal abad ke-17 di Jerman, dan berkomentar “pers telah pertama kali dalam sejarah menciptakan badan publik yang kritis yang terlibat dalam debat kritis tentang masalah-masalah politik” (Habermas, 1989) Kondisi semacam itu tidak bertahan lama.
            Kontroversi semakin berkurang didalam media dewasa ini. Media tidak lagi mengambil posisi dan berargumentasi atas posisinya, melainkan menghindar, karena menurut mereka, semakin mereka mengambil jarak, semakin berita itu akan mengandung kebenaran.
Editorial diberbagai media jarang sekali menyediakan ruang yang kondunsif untuk menciptakan debat politik rasional kritis yang melibatkan warga negara lainnya. (Calhoun, 1993)

Peran Ruang publik didalam demokrasi
            Habermas menekankan bahwa pendapat pribadi seseorang, setelah disosialisasikan secara publik, belumlah dapat dijadikan sebagai opini publik hasil proses debat didalam ruang publik. Opini semacam itu belumlah menempuh proses pembentukan opini melalui debat kritis rasional.
            Ia juga menyatakan bahwa jika demokrasi ingin diterapkan didalam masyarakat kompleks dan majemuk seperti dewasa ini, proses mencapai kesepakatan bersama melalui kehadiran fisik partisipaan haruslah dilampaui, yakni warga negara, yang karena berbagai alasan tidak bisa hadir secara fisik didalam proses deliberasi, dapat menyumbangkan opininya secara tidak langsung, yakni secara virtual. (Habermas, 1990)
Virtualitas kehadiran partisipan tersebut bukanlah tanpa kritik. Habermas sendiri melihat kemunduran akibat rekayasa media atas subyek partisipan, dan kemudian menjatuhkan semua tanggungjawab pada para wartawan, yang kerap kali memanipulasi data untuk mendapatkan berita yang lebih sensional, dan lebih menjual.
            Kondisi semacam itu tidak akan pernah dapat menciptakan suatu bentuk opini publik yang otentik, yang sungguh-sungguh mengena ke inti permasalahan, dan kemudian mencari solusi dari inti permasalah tersebut. Opini publik yang otentik hanya dapat terbentuk, jika partisipan rasional ikut serta didalam debat politik rasional, yang menyangkut kepentingan bersama diantara pihak-pihak yang berbeda secara rasional.
            “Proses komunikasi masyarakat, sesuai dengan ide akarnya, adalah sebuah prinsip demokrasi yang tidak hanya mengandaikan bahwa semua orang dapat berbicara, dengan kesempatan yang sama, tentang persoalan pribadinya, keinginan dan keyakinannya, proses komunikasi yang otentik hanya dapat dicapai didalam kerangka bahwa semua pendapat pribadi ataupun kelompok dapat berkembang didalam debat rasional kritis dan kemudian membentuk opini publik.” (Habermas, 1989)
            Pada awal abad ke-19, opini publik yang terbentuk dari debat rasional kritis menjadi proses resmi didalam parlemen-parlemen di Jerman dan Inggris. Berbagai pidato politik dibacakan didepan parlemen, seperti yang juga dilakukan sekarang, dengan pertimbangan rasional atas kepentingan publik sebagai keseluruhan, sehingga pengaruhnya semakin besar didalam kehidupan masyarakat untuk mendorong kemajuan di semua bidang kehidupan sosial. (Habermas, 1989)
            “Pembentukan opini publik dengan segala mekanismenya melampaui periklanan belaka. Opini publik dapat terbentuk dengan secara sistematis menciptakan isu-isu krusial dan substansial yang menyangkut kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan” (Habermas, 1989)
            Didalam upayanya untuk membentuk opini publik yang otentik, media tampak belum maksimal menjalankan fungsinya, terutama karena media tidak memberikan ruang yang cukup untuk proses debat rasional, dan proses diskursif didalam pembentukan opini, dan yang lebih penting lagi didalam proses pembentukan kehendak politik. Proses komunikasi didalam ruang publik berarti proses pembentukan opini publik yang otentik, yang dimatangkan didalam proses debat kritis itu sendiri.
            “Keputusan politik yang otentik tidak mencerminkan kehendak dari semua, melainkan hasil dari pertimbangan semua pihak. Ini adalah proses dimana kehendak semua orang dibentuk dan dirundingkan untuk menjamin legitimitas dari hasilnya, daripada kumpulan semua kehendak yang sudah ada sebelumnya.” (Habermas, 1989)
            Menurut Habermas, upaya untuk merevitalisasi ruang publik terletak pada upaya pembentukan konsensus rasional bersama, daripada memanipulasi opini masyarakat umum demi kepentingan kekuasaan ataupun peraihan keuntungan finansial semata. Untuk itu, ia membedakan dua macam opini publik, yakni sebagai opini publik yang bersikap kritis terhadap kekuatan politik dan ekonomi, dan opini publik yang dapat dimanipulasi untuk mendukung orang-orang, institusi, ataupun ideologi tertentu, yang notabene ini bukanlah opini publik sama sekali.
            Ruang publik memiliki fungsi yang sangat besar didalam masyarakat demokratis, yakni sebagai ruang dimana opini publik yang otentik, yang bersikap kritis terhadap kekuatan politik maupun ekonomi demi mencapai keseimbangan dan keadilan sosial, dapat terbentuk dan tersebar luas kepada seluruh warga negara, sekaligus sebagai penekan terhadap segala bentuk manipulasi ruang publik, yang seringkali digunakan untuk membenarkan aspek kekuasaan tertentu, dan itu juga berarti, membenarkan ketidakadilan tertentu.



RUANG PUBLIK ASPIRASI

            Sejak dibukanya kran demokrasi pasca kajatuhan Orde Baru, gerakan protes, gelombang demonstrasi, protes para facebookers di cyberspace maupun berbagai penyuaraan rakyat atas realitas sosial dan politik di negeri ini menyeruak secara bebas di ruang-ruang publik. Lihat saja misalnya deretan kasus cicak-buaya KPK versus POLRI, skandal Bank Century, kasus dugaan malpraktek atas Prita Mulyasari kontra Omni Internasional maupun fenomena-fenomena lainnya. Peristiwa-peristiwa tersebut bisa kita dapati di berbagai media cetak dan elektronik, hadir menjadi lanskap sehari-hari dalam kehidupan politik Indonesia pasca reformasi.  Pada kenyataannya, suara publik (baca: rakyat) yang disuarakan itu, meskipun tidak selalu berhasil mempengaruhi jalannya pemerintahan, namun terbukti tidak jarang mampu mendesak para pemegang otoritas untuk merevisi kebijakan-kebijakan yang dipandang dalam “ruang publik” sebagai keputusan kontroversial.
            Meskipun sangat lemah untuk menghadapi kekuatan-kekuatan birokrasi negara dan kepentingan-kepentingan industri media, kemunculan “publik” yang memberikan peran pengawasan terhadap pemerintah seperti yang terjadi dalam era reformasi ini menjadi begitu strategis. Di dalam era  yang menjunjung tinggi demokratisasi ini, pemerintahan tidak lagi bisa “bermain” sendirian di atas panggung kekuasaan. Pemerintah mau tidak mau harus memperhitungkan publik dan aspirasinya justru demi legitimatas atas setiap kebijakan yang dikeluarkan. Intinya, jika sebuah negara benar-benar ingin hidup dalam alam demokrasi, pemerintahnya harus membangun kanal-kanal komunikasi dengan publik.
            Partisipasi rakyat disuarakan melalui corong demokrasi kebebasan berbicara itulah yang disebut sebagai ruang publik (public shpere) dalam literatur filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Keterlibatan rakyat secara luas dan bebas dalam panggung komunikasi politik dan partisipasi demokratis dalam konteks tersebut yang coba dijelaskan buku berjudul Ruang Publik; Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace ini. Buku ini mencoba menawarkan jawaban berbagai dinamika persolan demokrasi dengan melacak persoalan partisipasi demokratis itu mulai dari zaman Yunani kuno, ketika demokrasi berlangsung dalam polis (negara kota), sampai pada masa cyberspace seperti saat ini. Secara sederhana, konsep “ruang publik” bertujuan mendorong partisipasi seluruh warga-negara untuk mengubah praktek-praktek sosial dan politik mereka lewat reformasi hukum dan politik secara komunikatif. Sayangnya, seringkali opini umum yang dihasilkan lewat komunikasi dalam ruang publik justru dikebiri oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaan.
            Selama kekuasaan Orde Baru, komunikasi politik di Indonesia hampir tidak pernah memperlihatkan wujudnya yang utuh. Di antara gejalanya yang dapat kita lihat adalah adanya kenyataan terbelenggunya kebebasan berpendapat, termasuk keleluasaan berekspresi politik, sehingga tidak memberikan jalan yang memadai bagi tumbuhnya partisipasi politik secara bebas dan konstruktif. Bahkan, kekuatan sosial politik pun tidak mampu menembus kebekuan komunikasi politik. Partai politik yang ada lebih dari sekadar rerpresentasi alat kekuasaan ketimbang sebagai alat demokrasi bagi upaya menyalurkan aspirasi yang tumbuh dari bawah. Demikian pula kekuatan-kekuatan sosial politik lainnya, cenderung menjadi subordinasi dari proses kekuasaan yang tengah berlangsung.
            Di Eropa abad ke-18, surat kabar memiliki peranan penting dalam membangun opini umum itu. Jika rezim komunis dan fasis yang menguasai suatu negara, mereka berkepentingan menunggangi media tersebut untuk melanggengkan kekuasaanya. Dengan menguasai opini dan ruang publik, pemilik pasar kapitalistik mengubahnya menjadi barang dagangan yang tunduk pada logika keuntungan semata. Ekspansi pasar kapitalis pada muaranya akan mencabik-cabik ruang publik itu dan menghapus ruang kritisnya dalam demokrasi dikarenakan komersialisasi opini publik (bab 7, hlm. 185). Habermas bahkan menyebut penguatan peran penguasa dalam mengawasi ruang publik itu sebagai “refeodalisasi” ruang publik, kenyataan yang benar-benar berlangsung dalam rezim-rezim otoriter seperti Nazi Jerman, Komunisme Uni Soviet dan Orde Baru.
            Bagi masyarakat Indonesia sebelum kemerdekaan, pengertian ruang publik sebagai arena komunikasi sejatinya bukanlah barang asing, karena dalam sejarah kebangkitan nasioanl yang dirintis oleh Boedi Oetomo, kita dapat menemukan berbagai asosiasi warga yang telah berhasil membangun solidaritas nasional yang melampaui suku-suku bangsa dan agama-agama di Nusantara. Surat-surat kabar, pos, forum-forum — berperan menjadi media yang efektif membangun opini umum yang pada gilirannya ikut mendorong solidaritas sebaga suatu bangsa.
            ‘Soempah Pemoeda’ pada 28 Oktober 1928 adalah bukti nyata buah embrio ruang publik dalam sejarah masyarakat Indonesia. Bangsa adalah – seperti dikatakan Ben Anderson – merupakan imagined community, komunitas rekaan. Rekaan tersebut tidak akan berdaya untuk merekatkan suku-suku yang terpisah-pisah jika tidak berasal dari opini umum yang terbangun di antara anggota komunitas itu.
            Dengan gaya penulisan yang tajam, kuat, dan mengalir, tema-tema penting seputar dinamika ruang publik dalam alam demokrasi tersebut digali, diolah, direfleksikan, dan dipaparkan dengan sangat baik oleh para penulisnya. Selain menggunakan pendekatan filsafat dalam sebagai pisau analisisnya, pendekatan sejarah, teologi, seni, arsitektur dan sosiologi turut digunakan untuk memperkaya perspektif pembaca. Dengan berbagai pendekatan itulah di berbagai bagian buku ini, pembaca akan mendapatkan pemahaman bahwa ruang publik tidak hanya menjadi dominasi elit penguasa, pasar dan media massa-elektronik pun mengambil peran dominasi yang menggantikan peran“publik” itu sendiri (hlm. 269).
            Dalam penyajianya, tulisan demi tulisan dalam buku ini meniscayakan bahwa demokrasi merupakan salah satu sistem yang dipilih karena mengakomodasi aspirasi politik yang menuntut keterlibatan sebanyak mungkin warga negara di satu sisi. Sementara di sisi lain, proses untuk bisa menyentuh partisipasi seluruh warga itu, akan bergantung pada fasilitas informasi dan komunikasi yang memungkinkan satu sama lain dapat berinteraksi. Buku ini tidak hanya membongkar secara komprehensif dan lengkap mengenai persoalan konseptual “ruang publik”, melainkan juga menyarankan jalan keluar yang diyakini dapat memberi “nyawa” kembali dalam memerdekakan ruang publik dari himpitan pasar dan tirani kekuasaan.




RUANG PUBLIK BUDAYA

            Keunggulan suatu bangsa adalah karya tangan dari bangsa itu sendiri, dan bukan otomatis turun dari langit. Ratusan ribu doa akan percuma, jika orang tetap merampok dan bertindak merusak. Ini yang menurut saya harus ditekankan terlebih dahulu, sebelum kita berupaya merancang budaya yang melahirkan keunggulan di berbagai bidang di Indonesia.
            Di era globalisasi sekarang ini, kekuatan suatu bangsa bukan semata sumber daya alam atau luas wilayahnya, melainkan pertama dan terutama adalah kekuatan kultur yang melahirkan manusia-manusia yang kreatif dan luhur. Namun, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, kultur tidak jatuh dari langit, melainkan hasil dari karya manusia. Kekuatan kultur dari suatu bangsalah yang mendorong bangsa itu mampu berkompetisi sekaligus bekerja sama untuk melahirkan kemakmuran bersama.
Kebebasan dan Rasa Aman
            Pertanyaan kunci berikutnya adalah, bagaimana membentuk kultur yang melahirkan manusia-manusia kreatif sekaligus luhur tersebut? Saya melihat setidaknya adalah lima hal yang bisa dan perlu untuk diusahakan. Yang pertama adalah kebebasan. Dalam arti ini, masyarakat mendorong setiap warganya untuk secara bebas mengejar panggilan hidup dan mengembangkan keahlian mereka, tanpa paksaan.
            Ini adalah unsur yang amat penting. Kebebasan, dalam wujud kesempatan untuk mengejar panggilan hati dan mengembangkan diri semaksimal mungkin, adalah tenaga pendorong kreativitas dan keluhuran manusia yang utama. Maka, ia tak boleh diinjak atas alasan apapun, baik itu alasan budaya, ataupun alasan agama. Jika kebebasan diancam, maka kreativitas pun akan bungkam.
            Kebebasan harus dibarengi juga dengan rasa aman. Orang perlu merasa aman dari bahaya kriminal (dari anggota masyarakat lain) ataupun kejahatan negara, supaya ia bisa mencipta. Ia juga butuh rasa aman, bahwa ketika ia sakit atau terluka, negara dan masyarakat akan siap membantunya. Kebebasan tanpa rasa aman adalah sia-sia.
            Orang juga harus bebas dari diskriminasi atas dasar agama, ras, suku, ataupun usia. Ia harus diperlakukan setara sebagai manusia yang juga memiliki hak dan kewajiban. Kesetaraan murni memang mitos, karena tak akan pernah terwujud di dalam realitas. Namun, sebagai kecenderungan umum, kesetaraan perlu untuk diciptakan, guna mendorong terbentuknya budaya unggul yang kreatif dan luhur.
Komunitas dan Pengakuan
            Orang tak bisa mencipta sendirian. Ia membutuhkan dukungan dalam bentuk komunitas yang secara bersama-sama mencipta. Komunitas ini tempat orang bertukar pikiran dan informasi, guna mendorong upaya masing-masing untuk mencipta. Komunitas juga sumber motivasi, ketika orang lelah dalam upaya kreatif, dan tergoda untuk berhenti.
            Orang juga tak bisa mencipta melulu dalam keadaan aman dan nyaman. Ia juga perlu tekanan dan kendala, walaupun sedapat mungkin, tekanan dan kendala tersebut tak menghambat kebebasan maupun rasa amannya. Tegangan antara rasa aman-nyaman di satu sisi dan hambatan maupun tekanan di sisi lain ini mendorong orang untuk sungguh termotivasi untuk mencipta. Contoh konkretnya: tekanan dalam bentuk deadline, perbaikan kualitas kerja, target kerja yang lebih tinggi, dan bentuk-bentuk tekanan kreatif lainnya.
            Orang juga tak tergerak untuk mencipta, ketika ia tahu, bahwa ia tak akan mendapatkan pengakuan atas karyanya. Maka, pengakuan adalah sesuatu yang penting. Saya tak bermaksud memberikan orang uang, supaya ia mencipta, melainkan nama dan karyanya diakui sebagai suatu sumbangan nyata bagi perkembangan peradaban manusia. Perjuangan hidup manusia, sebagaimana berulang kali dikatakan oleh Axel Honneth, filsuf Jerman asal Frankfurt, ditandai dengan tujuan abadi manusia untuk mendapatkan pengakuan.
Memanusiakan Warga
            Kelima nilai ini, yakni kebebasan, rasa aman, komunitas, kesetaraan, adanya hambatan kreatif, dan pengakuan, pada hemat saya, adalah kondisi-kondisi yang memungkinkan (die Bedigungen der Möglichkeit) untuk lahirnya budaya unggul di Indonesia. Dengan adanya budaya unggul ini, orang bisa dengan gembira menghasilkan karya-karya baik untuk perkembangan hidup manusia. Ini kekuatan sejati suatu bangsa, dan ini jauh lebih penting dari sumber daya alam yang berlimpah atau doa panjang yang berbusa-busa yang biasanya menutupi borok moral tertentu.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS